Â
Puluhan siswa keracunan makanan gratis (lagi). Naluri bisnis berubah jadi racun ketika keuntungan lebih penting dari keselamatan.
Puluhan siswa SMP di Kabupaten Toba dilarikan ke rumah sakit. Mereka muntah, pusing, dan lemas setelah menyantap makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Hasil uji laboratorium awal menunjukkan sebagian sampel makanan berlendir --- tanda sederhana dari sesuatu yang membusuk sebelum masuk ke tubuh anak-anak itu.
Kita boleh bicara tentang niat baik, program mulia, dan slogan kesejahteraan. Tapi di balik semua itu, fakta ini menelanjangi hal yang lebih dalam: naluri bisnis telah mengalahkan nurani.
Sebuah program yang seharusnya menyehatkan, justru berubah menjadi racun karena keserakahan yang bersembunyi di balik kata "pengadaan."
Dari Gizi Menjadi Krisis. Makan Bergizi Gratis diluncurkan dengan semangat mulia: memastikan anak Indonesia tidak kelaparan dan mendapatkan gizi layak di sekolah. Tapi di lapangan, niat baik sering kali dikorupsi oleh mentalitas instan dan orientasi untung.
Ada kontraktor yang menang tender bukan karena kemampuan, melainkan karena kedekatan. Ada pemasok bahan pangan yang memilih harga termurah, bukan kualitas terbaik. Ada birokrat yang sibuk menyiapkan laporan keberhasilan, bukan standar keamanan.
Dan di ujung rantai yang panjang itu, ada anak-anak yang menjadi korban. Mereka makan dengan gembira karena percaya pada negara, lalu muntah karena dikhianati oleh sistemnya.
Naluri Bisnis yang Hilang Nurani. Bisnis tidak salah. Tapi bisnis tanpa etika adalah racun.
Ketika makanan untuk anak-anak diperlakukan sebagai proyek, bukan amanah, maka yang dijual bukan lagi produk --- tapi tanggung jawab.
Para pelaku pengadaan sering membenarkan diri dengan kalimat yang dingin: "Yang penting sesuai kontrak."
Padahal di balik selembar kontrak itu, ada nyawa kecil yang tak paham apa-apa.
Mereka hanya lapar, lalu percaya. Tapi kepercayaan itu kini dihancurkan oleh kerakusan yang disembunyikan di balik jargon "program rakyat."
Naluri bisnis yang sehat seharusnya mencari manfaat tanpa mencederai.
Tapi ketika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, maka akal akan mencari jalan pintas, dan nurani dibiarkan kelaparan.
Negara yang Sibuk Mengklaim, Tapi Lupa Mengawasi. Pemerintah bangga menyebut MBG sebagai langkah besar. Spanduk bertebaran, angka anggaran dikutip dengan bangga, pejabat bergantian berfoto di depan dapur umum.
Namun, siapa yang benar-benar memastikan nasi yang disajikan itu aman?
Siapa yang memeriksa dapur penyedia makanan sebelum distribusi dimulai?
Siapa yang menelusuri rantai suplai bahan mentahnya?
Dalam birokrasi kita, pengawasan sering muncul setelah bencana.
Laporan disusun setelah anak-anak keracunan, bukan sebelum makanan dikirim.
Kita gemar membuat sistem tanggung jawab administratif, tapi melupakan tanggung jawab moral.
Negara yang abai terhadap detail, pada akhirnya akan menelan sendiri hasil kelalaiannya.
Dan setiap kali ada anak yang muntah karena makanan yang disubsidi negara, itu bukan sekadar insiden --- itu tanda bahwa sistem sedang membusuk.