Fenomena keluarga tidak ideal semakin banyak terlihat di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat. Di banyak desa dan kota kecil, kita bisa menemukan anak-anak yang sebenarnya masih memiliki orang tua, namun tumbuh besar bersama kakek-nenek mereka. Sebabnya beragam: perceraian usia muda, orang tua merantau dan meninggalkan anak, atau sekadar abai pada tanggung jawab pengasuhan. Anak-anak seperti ini sering disebut yatim sosial atau social orphan.
Di sisi lain, ada juga keluarga dengan orang tua tunggal (single parent). Meski penuh keterbatasan, setidaknya masih ada satu figur orang tua yang hadir secara langsung dalam kehidupan anak. Pertanyaannya: mana yang lebih baik bagi perkembangan seorang anak—hidup dengan single parent, atau menjadi yatim sosial?
Single Parent: Berat Tapi Masih Ada Harapan
Menjadi orang tua tunggal bukan pilihan yang mudah. Seorang ibu atau ayah yang membesarkan anak sendirian sering harus menghadapi tantangan ganda: mengurus rumah tangga, mencari nafkah, sekaligus mendampingi tumbuh kembang anak. Tekanan ekonomi sering jadi beban utama. Ditambah lagi stigma sosial, terutama bagi janda atau duda muda, yang kadang dianggap “gagal” dalam rumah tangga.
Namun di balik segala keterbatasannya, kehadiran seorang single parent tetap berarti besar bagi anak. Anak masih bisa merasakan:
Kasih sayang dan kelekatan emosional. Walaupun hanya satu orang tua, ada sosok yang konsisten hadir.
Bimbingan moral dan teladan. Anak tetap memiliki figur untuk belajar nilai-nilai hidup.
Rasa aman. Kehadiran satu orang tua yang stabil lebih baik daripada dua orang tua yang sering absen atau konflik.
Dengan dukungan lingkungan sekitar—keluarga besar, teman, bahkan komunitas—anak dari keluarga single parent tetap bisa tumbuh sehat secara psikologis dan sosial.
Social Orphan: Yatim Tanpa Kehilangan Nyawa