Â
Pemberantasan korupsi tidak hanya berhenti pada menghukum pelaku, tetapi juga memastikan aset hasil korupsi kembali ke negara. Di era Presiden Prabowo Subianto, wacana besar mengenai "bersih-bersih" pejabat publik dan praktik bisnis ilegal mulai diiringi dengan upaya penyitaan aset, khususnya di sektor perkebunan dan pangan. Namun, di balik langkah simbolik tersebut, ada tantangan struktural dan celah hukum yang bisa menjadi kunci (atau sebaliknya, penghambat) efektivitas strategi perampasan aset koruptor.
1. Politik hukum Prabowo: dari retorika ke implementasi
Prabowo dalam pidato kenegaraan 2025 menegaskan bahwa kebocoran anggaran mencapai Rp300 triliun akibat praktik korupsi dan kartel ekonomi. Retorika ini disertai kebijakan eksekusi langsung: penyitaan ratusan ribu hektar lahan sawit ilegal dan penyerahannya ke BUMN Agrinas. Dari sudut pandang politik, langkah ini menunjukkan keberanian pemerintah. Namun, keberlanjutannya tergantung pada landasan hukum perampasan aset yang masih parsial dan rawan diperdebatkan di pengadilan.
2. Kerangka hukum perampasan aset di Indonesia
Indonesia saat ini mengandalkan beberapa instrumen hukum untuk merampas aset hasil kejahatan, antara lain:
UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) -- memungkinkan perampasan aset setelah putusan pengadilan inkrah.
UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) -- membuka jalan bagi penyitaan harta yang diduga berasal dari kejahatan.
Perampasan Aset Tanpa Tuntutan (Non-Conviction Based Asset Forfeiture/NCB) -- konsep yang telah lama diwacanakan, tapi hingga kini belum dilembagakan secara penuh dalam UU khusus.
Celah utamanya: sebagian besar perampasan masih membutuhkan putusan pengadilan final, yang prosesnya memakan waktu bertahun-tahun. Akibatnya, banyak aset yang sudah disita membusuk, berubah kepemilikan, atau dialihkan ke pihak ketiga.
3. Celah perampasan aset: peluang yang bisa dimanfaatkan
Pemerintahan Prabowo punya ruang untuk memperkuat perampasan aset lewat tiga jalur:
Optimalisasi NCB Asset Forfeiture
Mendorong percepatan RUU Perampasan Aset yang sudah lama tertahan di DPR. Dengan ini, aset korupsi bisa dirampas tanpa menunggu putusan inkrah, cukup dengan bukti kuat bahwa aset terkait tindak pidana.Integrasi Data Keuangan dan Agraria
Kasus sawit ilegal menunjukkan bahwa penguasaan aset sering dikamuflase lewat perusahaan cangkang. Integrasi data agraria, perpajakan, dan perbankan bisa mempersempit ruang penyembunyian aset.Kerjasama Internasional (Asset Tracing)
Banyak koruptor Indonesia menempatkan aset di luar negeri (Singapura, Hong Kong, Swiss). Implementasi Mutual Legal Assistance (MLA) dan perjanjian ekstradisi perlu dipercepat agar aset lintas batas bisa ditarik kembali.
4. Risiko dan hambatan
Meski peluang besar, perampasan aset juga rawan dimanfaatkan secara politis. Beberapa risiko yang mengintai:
Politisasi penyitaan: aset kelompok tertentu cepat disita, sementara aset elite yang dekat kekuasaan dilindungi.
Minim transparansi: aset hasil rampasan dialihkan ke BUMN atau lembaga negara tanpa audit publik, memunculkan potensi korupsi baru.
Keterbatasan SDM dan teknologi: penelusuran aset butuh sistem digital forensik finansial, yang masih terbatas di Indonesia.
5. Studi kasus: sawit ilegal sebagai pintu masuk
Langkah penyitaan 300.000 hektar lahan sawit ilegal yang diumumkan pemerintah menjadi preseden penting. Namun, efektivitasnya masih dipertanyakan: bagaimana mekanisme penentuan "ilegal", siapa yang mengelola lahan, dan bagaimana memastikan hasilnya masuk ke kas negara? Tanpa transparansi, penyitaan ini bisa berubah menjadi transfer kepemilikan elit, bukan pemulihan aset untuk rakyat.
6. Rekomendasi strategis
Untuk menjadikan perampasan aset sebagai senjata utama antikorupsi, pemerintahan Prabowo perlu:
Mengesahkan RUU Perampasan Aset agar mekanisme NCB memiliki dasar hukum kuat.
Membentuk badan khusus asset recovery yang independen dari kepolisian, kejaksaan, dan KPK, dengan mandat tunggal menelusuri dan mengelola aset.
Menggunakan teknologi forensik digital untuk melacak aliran dana, termasuk lewat blockchain analysis pada aset kripto.
Audit publik atas aset rampasan untuk mencegah korupsi baru dalam pengelolaan.
Kerjasama regional dengan negara-negara suaka pajak, agar aset lintas batas bisa cepat ditarik.
Kesimpulan
Era Prabowo membuka momentum besar untuk menjadikan perampasan aset sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Namun, langkah ini baru sebatas simbol dan operasi kasus tertentu. Tanpa payung hukum yang kuat, mekanisme independen, serta transparansi penuh, perampasan aset rawan menjadi instrumen politik alih-alih instrumen keadilan. Celah hukum yang ada bisa menjadi peluang emas bagi negara untuk mengembalikan triliunan rupiah yang hilang akibat korupsi---atau justru menjadi lubang baru bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Sumber Referensi
Jakarta Post (2025). "Prabowo promises to hunt corruptors in 2025 State of Nation Address."
Kompas (2025). "Wamen ditetapkan tersangka kasus pungli, Presiden langsung memberhentikan."
Financial Times (2025). "Indonesia seizes 300,000 hectares of illegal palm oil land in corruption crackdown."
ICW Report & Tirto (2025). "Evaluasi setahun pemberantasan korupsi: potensi pelemahan KPK dan perampasan aset."
Transparency International (2024--2025). "Indeks Persepsi Korupsi dan tren kasus korupsi Indonesia."
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI