Pemerintahan Prabowo punya ruang untuk memperkuat perampasan aset lewat tiga jalur:
Optimalisasi NCB Asset Forfeiture
Mendorong percepatan RUU Perampasan Aset yang sudah lama tertahan di DPR. Dengan ini, aset korupsi bisa dirampas tanpa menunggu putusan inkrah, cukup dengan bukti kuat bahwa aset terkait tindak pidana.Integrasi Data Keuangan dan Agraria
Kasus sawit ilegal menunjukkan bahwa penguasaan aset sering dikamuflase lewat perusahaan cangkang. Integrasi data agraria, perpajakan, dan perbankan bisa mempersempit ruang penyembunyian aset.-
Kerjasama Internasional (Asset Tracing)
Banyak koruptor Indonesia menempatkan aset di luar negeri (Singapura, Hong Kong, Swiss). Implementasi Mutual Legal Assistance (MLA) dan perjanjian ekstradisi perlu dipercepat agar aset lintas batas bisa ditarik kembali.
4. Risiko dan hambatan
Meski peluang besar, perampasan aset juga rawan dimanfaatkan secara politis. Beberapa risiko yang mengintai:
Politisasi penyitaan: aset kelompok tertentu cepat disita, sementara aset elite yang dekat kekuasaan dilindungi.
Minim transparansi: aset hasil rampasan dialihkan ke BUMN atau lembaga negara tanpa audit publik, memunculkan potensi korupsi baru.
Keterbatasan SDM dan teknologi: penelusuran aset butuh sistem digital forensik finansial, yang masih terbatas di Indonesia.
5. Studi kasus: sawit ilegal sebagai pintu masuk
Langkah penyitaan 300.000 hektar lahan sawit ilegal yang diumumkan pemerintah menjadi preseden penting. Namun, efektivitasnya masih dipertanyakan: bagaimana mekanisme penentuan "ilegal", siapa yang mengelola lahan, dan bagaimana memastikan hasilnya masuk ke kas negara? Tanpa transparansi, penyitaan ini bisa berubah menjadi transfer kepemilikan elit, bukan pemulihan aset untuk rakyat.