Dampak: Erosi Kepercayaan Publik
Ketika undang-undang dipersepsikan tidak berpihak pada rakyat, dampaknya bukan hanya pada kualitas regulasi, tetapi juga pada legitimasi politik. Gelombang demonstrasi yang menentang berbagai undang-undang kontroversial menjadi bukti nyata ketidakpuasan publik. Hal ini menunjukkan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan wakilnya di parlemen.
Kepercayaan publik yang terkikis juga berdampak pada stabilitas politik. Rakyat merasa tidak memiliki saluran aspirasi yang efektif, sementara DPR semakin kehilangan wibawa sebagai lembaga perwakilan. Jika situasi ini berlanjut, maka demokrasi prosedural yang ada berisiko mengalami delegitimasi serius.
Menuju Legislasi yang Berpihak pada Publik
Meskipun kritik banyak diarahkan pada DPR dan proses legislasi, bukan berarti tidak ada peluang perbaikan. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mendorong legislasi yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel:
-
Penguatan Transparansi
Setiap tahapan pembentukan undang-undang harus terbuka bagi publik. Naskah RUU wajib dipublikasikan secara daring sejak tahap awal, sehingga masyarakat dapat mengikuti perkembangan secara langsung. Partisipasi Publik Substantif
Partisipasi publik harus dipahami sebagai hak, bukan formalitas. DPR dan pemerintah perlu memastikan bahwa masukan masyarakat benar-benar dipertimbangkan, bukan sekadar dicatat.Penguatan Peran Lembaga Independen
Mahkamah Konstitusi perlu terus memainkan perannya sebagai penjaga konstitusi dengan tegas membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, lembaga-lembaga pengawas lain, seperti Komnas HAM atau Ombudsman, perlu diberi ruang lebih dalam proses legislasi.Reformasi Partai Politik
Karena DPR adalah representasi partai, maka reformasi internal partai menjadi krusial. Demokratisasi internal, transparansi pendanaan, serta orientasi pada kepentingan publik perlu diperkuat agar partai tidak sekadar menjadi mesin kekuasaan.
Penutup
Legislasi adalah jantung dari kehidupan demokrasi. Namun di Indonesia, jantung itu sering berdenyut mengikuti irama kepentingan politik, bukan denyut nadi rakyat. Kritik terhadap DPR dan proses legislasi bukan semata-mata bentuk sinisme, melainkan panggilan untuk perbaikan.
Selama undang-undang dipandang sebagai instrumen kepentingan elite, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif akan terus terkikis. Sebaliknya, jika DPR mampu menjadikan legislasi sebagai wadah aspirasi publik, maka undang-undang tidak hanya menjadi teks hukum, melainkan perwujudan nyata dari cita-cita demokrasi dan keadilan sosial.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus dijawab bukanlah sekadar siapa yang berkuasa membuat undang-undang, tetapi untuk siapa undang-undang itu dibuat. Tanpa jawaban yang jujur dan berpihak pada rakyat, legislasi di Indonesia akan terus berjalan di tempat: formal secara prosedural, tetapi kosong secara substansi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI