Di kota-kota besar, perjalanan dengan angkutan umum sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bus kota, kereta commuter line, angkot, hingga transportasi daring seperti ojek online dan taksi, semuanya menjadi sarana bagi jutaan orang untuk berpindah dari satu titik ke titik lain. Tapi, ada satu hal yang kadang luput dari perhatian: kenyamanan perjalanan. Duduk, tidur, sampai---atau DTS---tampak sederhana, tapi dalam konteks transportasi umum, ia menjadi sebuah kemewahan yang sangat mahal.
Bayangkan pagi hari di terminal bus. Penumpang memadati ruang tunggu, sebagian berdiri, sebagian duduk di kursi plastik yang sudah aus. Di tengah kerumunan itu, menemukan kursi kosong adalah kemenangan kecil. Duduk berarti bisa mengistirahatkan kaki, menenangkan tubuh yang lelah, dan sejenak menepi dari hiruk-pikuk sekitar. Tapi kenyataannya, duduk di angkutan umum jarang bisa diperoleh dengan mudah. Kursi terbatas, penumpang ramai, dan kadang aturan prioritas tidak selalu diterapkan. Duduk menjadi sesuatu yang dinanti, sesuatu yang dicari, bahkan sebelum perjalanan dimulai.
Setelah duduk, datang fase berikutnya: tidur. Bukan tidur nyenyak layaknya di kasur, tapi tidur sejenak, menutup mata, melepas penat, dan membiarkan waktu berjalan. Di kereta komuter atau bus antarkota, tidur sering kali menjadi bentuk resistensi terhadap kelelahan. Namun, tidur pun menjadi mahal ketika ruang gerak terbatas, tubuh harus menyesuaikan diri dengan posisi sempit, dan kebisingan sekitar terus menuntut perhatian. Tidur di transportasi umum bukan sekadar menutup mata; ia adalah seni bertahan, kemampuan untuk menenangkan pikiran, dan menyeimbangkan diri di antara guncangan jalan dan desakan manusia lain.
Dan akhirnya, sampai. Kata sederhana ini membawa kepuasan tersendiri, tapi juga ironi terselip di dalamnya. Sampai berarti perjalanan berakhir, tapi untuk bisa sampai dengan selamat dan tanpa terlalu banyak rasa lelah, dibutuhkan kombinasi keberuntungan dan strategi. Penumpang harus tahu kapan harus naik, di mana duduk, dan bagaimana menyesuaikan diri agar perjalanan tidak berubah menjadi penderitaan fisik. Sampai menjadi momen evaluasi: apakah DTS tercapai dengan baik? Atau hanya sebatas "aku sampai, tapi dengan harga kelelahan tinggi"?
Mahalnya DTS bukan hanya soal fisik. Ia soal waktu. Banyak penumpang yang rela bangun lebih pagi, berangkat lebih awal, atau memanfaatkan rute memutar demi memastikan mereka mendapatkan kursi. Harga yang dibayar bukan uang semata, tapi energi, kesabaran, dan mental. Duduk yang nyaman bisa hilang dalam sekejap jika bus tiba-tiba penuh. Tidur yang seharusnya menenangkan bisa terganggu oleh suara telepon, anak kecil yang rewel, atau penumpang lain yang tidak sabar. Sampai, seharusnya akhir perjalanan yang manis, kadang terasa hambar karena kelelahan yang menumpuk.
Fenomena DTS ini menimbulkan refleksi lebih dalam tentang ruang dan hak di kota-kota modern. Transportasi umum, yang seharusnya menjadi layanan publik untuk semua, sering kali tidak mampu memberikan kenyamanan yang memadai. Duduk, tidur, dan sampai---aktivitas yang seharusnya alami dalam perjalanan---menjadi barang mewah. Hal ini menyiratkan ketimpangan yang tersembunyi: mereka yang mampu membayar lebih untuk transportasi pribadi, seperti taksi atau mobil pribadi, bisa menikmati DTS tanpa kompromi; sedangkan penumpang angkutan umum harus bersaing untuk mendapatkan hal yang sama.
Mahalnya DTS juga menyentuh sisi psikologis. Penumpang yang tidak dapat duduk, atau tidak bisa tidur karena kepadatan, kerap mengalami stres ringan hingga fisik yang terasa lebih lelah. Kelelahan ini menumpuk setiap hari, membentuk pengalaman perjalanan yang berat. Dengan kata lain, transportasi umum tidak hanya mengangkut tubuh, tapi juga menguji ketahanan mental dan emosional. Mereka yang berhasil DTS merasa seperti telah melewati ujian kecil sehari-hari, sebuah kemenangan personal yang seakan sepele, tapi sungguh bernilai.
Ironi terbesar muncul ketika kita menyadari bahwa perjalanan sehari-hari, yang tampak biasa, sebenarnya mengandung banyak dimensi sosial. Duduk, tidur, sampai bukan sekadar kebutuhan fisik; mereka adalah simbol akses, kesempatan, dan perlakuan layak terhadap manusia. Ketika seseorang tidak mendapatkan DTS, ia merasakan dampak kecil namun signifikan: rasa tidak nyaman, hilangnya waktu istirahat, dan kadang frustrasi yang tertahan. Sebaliknya, ketika seseorang beruntung mendapatkan DTS, ada perasaan lega, bahkan kemewahan terselip di dalam kesederhanaan.
Maka, kita bisa melihat bahwa DTS dalam transportasi umum bukan hanya soal posisi tubuh atau tidur sebentar. Ia adalah metafora dari kehidupan perkotaan: tentang ketidakpastian, kesabaran, dan nilai kecil yang terasa mahal karena sulit dicapai. Setiap duduk yang diraih, setiap tidur yang bisa disempatkan, setiap perjalanan yang sampai dengan selamat, adalah pencapaian tersendiri. DTS mengingatkan kita bahwa kenyamanan adalah hak, tetapi dalam kenyataan sehari-hari, hak ini sering kali harus diperjuangkan.
Dalam renungan ini, kita mungkin belajar sesuatu tentang rasa syukur. Duduk di kursi yang nyaman, tidur sejenak tanpa gangguan, dan sampai di tujuan dengan selamat bukanlah hal remeh. Mereka adalah kemewahan yang terkadang kita anggap biasa, padahal bagi banyak orang, itu adalah hadiah kecil dari hidup. Dan ketika kita menunggu angkutan umum berikutnya, berdesak-desakan dengan orang lain, DTS tetap menjadi target, impian, dan kemenangan kecil yang selalu dicari.