Puluhan ribu warga Israel kembali turun ke jalan-jalan Tel Aviv, Minggu (18/8/2025), menyerukan diakhirinya perang di Gaza. Aksi ini bukan sekadar rutinitas mingguan yang telah berlangsung hampir dua tahun terakhir, melainkan sebuah gelombang protes yang semakin membesar dan memperlihatkan rapuhnya legitimasi pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Di Lapangan Sandera, pusat simbolis aksi, massa mengibarkan bendera kuning, menabuh drum, dan mengangkat foto-foto kerabat mereka yang ditawan Hamas sejak Oktober 2023. Teriakan "bawa mereka pulang!" menggema di udara, menjadi pengingat bahwa luka nasional Israel belum juga terobati.
“Ini mungkin menit-menit terakhir untuk menyelamatkan para sandera yang ditahan hampir 700 hari di terowongan Hamas,” ujar Ofir Penso, seorang guru bahasa Arab, kepada AFP.
Luka yang Terus Menganga
Sejak serangan Hamas pada Oktober 2023, sebanyak 251 orang Israel disandera. Kini, 49 masih berada di Jalur Gaza, termasuk 27 yang menurut militer Israel telah tewas. Bagi keluarga korban, waktu kian menipis dan harapan kian menekan.
Einav Tzangauker, seorang ibu yang putranya, Matan, masih ditawan, menyampaikan seruan emosional di hadapan massa. “Pemerintah Israel tidak pernah menawarkan inisiatif yang tulus untuk kesepakatan komprehensif dan mengakhiri perang. Kami menuntut kesepakatan dan hak kami—anak-anak kami.”
Suara-suara ini kian nyaring, menandai perubahan suasana publik: dari dukungan penuh terhadap operasi militer menjadi desakan untuk penyelesaian politik.
Negara yang Kian Terbelah
Demonstrasi terbaru ini menyoroti kegelisahan warga Israel tidak hanya soal sandera, tetapi juga tentang masa depan anak-anak mereka yang kini bertugas di Gaza. “Seluruh negeri sedang berperang satu sama lain, citra kita di dunia memburuk, dan sudah cukup,” kata Nick, seorang pekerja teknologi berusia 31 tahun.
Ella Kaufman, yang dua putranya bertugas di militer, mengaku diliputi kecemasan. “Kami berharap dan berdoa agar pemerintah mendengarkan kami.”