Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jejak dalam Bayang-Bayang: Menyelami Konsep Identitas dalam Filsafat Modern

9 Agustus 2025   08:25 Diperbarui: 9 Agustus 2025   08:25 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cover bukuku-istimewa

Selamat pagi sahabat sunyi,

Kembali pagi ini saya mengisi ruang tanya yang mungkin sudah lama perlu jawaban. Pertanyaan itu sederhana, namun diam-diam menyelinap di setiap jeda hidup: Siapa aku sebenarnya? Ia mengetuk tanpa henti, memaksa kita menatap bukan sekadar wajah di cermin, melainkan inti keberadaan yang sering kita sembunyikan di balik rutinitas.

Di tengah riuh dunia yang berubah, pertanyaan ini menjadi kompas yang mengarahkan kita menelusuri jejak filsafat modern---sebuah perjalanan panjang yang penuh perdebatan, kontras, dan kilasan cahaya yang kadang singkat tapi meninggalkan bekas mendalam.

Di tengah riuhnya dunia yang terus berubah, aku sering terhenti sejenak, dikejar oleh satu pertanyaan yang tak pernah lekang: Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan sederhana, namun memuat kedalaman yang seakan tak berujung. Ia menembus lapisan rutinitas, memaksa kita menatap cermin bukan untuk melihat wajah, melainkan untuk mencari inti keberadaan. Dalam sejarah filsafat modern, pertanyaan ini dijawab dengan ragam perspektif yang saling bertaut, saling menantang, dan saling memperkaya.

Filsafat modern mengajak kita keluar dari bayang-bayang tradisi dan dogma, menuju medan yang lebih kritis dan reflektif. Di sini, konsep identitas---siapa kita, dan apa yang membuat kita tetap "kita" di tengah arus waktu---menjadi pusat perdebatan yang tak pernah sepi.

Immanuel Kant, misalnya, memandang identitas manusia bukan sekadar keberadaan fisik, melainkan sesuatu yang melekat pada kesadaran diri. Bagi Kant, aku yang berpikir---aku yang sadar akan keberadaanku---adalah fondasi dari identitas. Kesadaran ini hadir terus-menerus, menjadi benang merah yang membuat kita tetap "kita" meski tubuh menua, pengalaman berubah, dan waktu terus menggerus. Identitas, dalam kerangka ini, bersifat dinamis: ia dibangun dan dipahami melalui proses kesadaran yang berkesinambungan.

Namun, pandangan Kant membuka pintu bagi pertanyaan yang lebih rumit: jika identitas bergantung pada kesadaran, lalu apa yang terjadi ketika memori lenyap---karena penyakit, trauma, atau waktu? Apakah aku masih "aku" yang sama? Pertanyaan ini mengisyaratkan bahwa identitas tak hanya berdiam di dalam pikiran atau memori, tetapi juga terkait erat dengan tubuh dan jejak pengalaman yang terus berlanjut.

David Hume hadir dengan sikap yang jauh lebih skeptis. Ia meragukan adanya "diri" yang abadi dan menyatakan bahwa yang ada hanyalah rangkaian pengalaman dan persepsi yang mengalir tanpa henti. Bagi Hume, identitas adalah ilusi---sebuah cerita yang kita ciptakan untuk memberi makna pada serpihan pengalaman yang senantiasa berubah. Ia memandang manusia sebagai bundle of perceptions, untaian persepsi yang terus berganti, tanpa ada inti yang kekal di baliknya.

Sementara itu, filsafat eksistensialis yang diwakili Jean-Paul Sartre memutar arah pembicaraan. Sartre menegaskan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang diciptakan melalui kebebasan. "Eksistensi mendahului esensi," ujarnya. Artinya, kita terlebih dahulu ada, lalu menentukan siapa kita melalui pilihan, tindakan, dan tanggung jawab yang kita ambil. Dalam pandangan ini, identitas adalah proyek yang selalu terbuka, dibentuk oleh keberanian kita menghadapi kebebasan---dan risiko---yang melekat padanya.

Melintasi gagasan-gagasan ini, aku melihat bahwa filsafat modern tidak pernah memandang identitas sebagai sesuatu yang statis. Dari Kant yang menekankan kesadaran, Hume yang menyoroti kefanaan diri, hingga Sartre yang mengangkat peran kebebasan, semuanya mengarahkan kita pada kesimpulan yang sama: identitas adalah karya yang selalu bergerak, dibentuk ulang oleh waktu, pengalaman, dan pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun