Di sebuah kafe yang teduh, kami duduk melingkar di meja kayu panjang.
Ada Ibu, kakakku, adik, dan dua keponakan yang sibuk dengan obrolan masing-masing.
Topik pertemuan sebenarnya sederhana: rencana liburan keluarga.
Tapi suara-suara bersahutan, saling potong, saling tanya, lalu kembali sibuk membuka layar masing-masing.
“Ada villa yang ini juga, coba lihat deh,” kata kakakku sambil menunjukkan ponselnya.
Adikku mengangguk cepat, lalu kembali men-scroll.
Keponakan-keponakanku sibuk memotret makanan yang belum disentuh, Ibu membuka galeri foto, mencoba mencari lokasi yang katanya pernah kami kunjungi dulu.
Dan aku?
Aku duduk di ujung meja.
Sendirian, tapi tidak sendiri.
Layar ponselku menyala. Jari-jariku sibuk mengetik pesan yang tidak penting, membuka satu aplikasi ke aplikasi lain tanpa tujuan.
Bukan karena ada yang penting untuk dilihat. Tapi... karena entah kenapa, lebih nyaman menatap layar ketimbang menatap wajah-wajah di depanku.
Di sekitarku, dunia terus bergerak. Tapi aku diam di balik cahaya biru.
Sampai sebuah suara menyadarkan saya,
“Kau bisa taruh ponselmu sebentar nggak?”
Suara itu datang dari seberang meja. Lembut, tapi tidak bisa kuabaikan.
Aku mendongak.
“Eh, iya, maaf,” jawabku sambil buru-buru menutup layar dan membalik ponsel.
“Cuma mau lihat jadwal meeting besok.”
Dia mengangguk pelan, lalu kembali menyeruput kopinya.
Tapi aku tahu, sesuatu sudah terlewat. Percakapan yang tadi mengalir hangat, kini berubah hampa.
Seperti ada tembok kaca yang tiba-tiba berdiri di antara kami—bening, tapi terasa tebal.
Sepulangnya, aku duduk sendiri di kamar. Lampu remang. Ponsel tergeletak di meja.
Aku menatapnya lama, seolah baru sadar betapa benda kecil itu telah mencuri begitu banyak hal dariku.