Kadang aku bertanya:
Bagaimana jika semua yang kupikir sebagai kehendak bebas,
sebenarnya hanya kelengahan yang sudah disiapkan?
Dan jika begitu, masih adakah aku dalam aku?
Atau aku hanyalah sisa dari kebisingan digital yang tersusun rapi oleh pola klik dan jeda?
Aku menatap kamera depan malam ini.
Wajahku di sana, tapi terasa asing.
Bukan karena cermin digitalnya,
tapi karena aku merasa sedang dinilai. Dipantau. Dipetakan.
Bukan oleh manusia. Tapi oleh sistem yang tak mengenal kata cukup.
Aku merasa...
bukan dilihat, tapi diproses.
Dan di titik itulah kegelisahan eksistensial lahir:
Ketika aku, manusia---makhluk yang pernah menangis di depan langit---
menjadi sekadar objek dalam sirkuit perhitungan.
Tubuhku adalah data.
Keputusanku adalah prediksi.
Cintaku adalah kebiasaan yang bisa diretas.
Refleksi hari ini:
Mungkin kita terlalu sibuk menciptakan masa depan,
hingga lupa memastikan bahwa kita sendiri masih termasuk di dalamnya.
Teknologi tak pernah netral.
Ia cermin.
Dan seperti semua cermin, yang menakutkan bukanlah apa yang ia tampilkan---
tapi saat kita tak mengenali lagi wajah yang terpantul di sana.
Maka aku berhenti sejenak.
Bukan untuk mematikan layar,
tapi untuk menyalakan ulang kesadaran.
Aku bertanya dalam diam:
Apa yang benar-benar aku pilih...
dan apa yang telah dipilihkan untukku?