Ada yang terus mengarahkan hidup kita hari ini, tapi tak bisa disentuh.
Tak berbentuk. Tak bernapas. Tapi ia mencatat segalanya.
Ia tahu kapan aku rapuh. Kapan aku membeli. Kapan aku diam lebih lama menatap sesuatu.
Sekali lagi, namanya algoritma. Sederhana. Tapi di balik nama itu tersembunyi kekuatan yang pernah kita anggap milik Tuhan:
Kekuatan untuk mengenal manusia, tanpa benar-benar mencintainya.
Aku mulai sadar, pilihan-pilihan yang kuanggap milikku---mungkin hanya sisa-sisa ruang yang belum dikuasainya.
Musik yang kupilih, orang yang kutaksir, berita yang kutanggapi dengan marah,
semuanya sudah disusun, dikelompokkan, dikemas,
lalu disuguhkan kepadaku dengan bahasa paling halus:
"Ini kamu."
Tapi... benarkah?
Atau jangan-jangan...
"Aku" yang kumaksud bukan lagi aku.
Melainkan aku versi statistik, versi klik, versi pola---versi yang bisa dijual.
Dulu, kita menciptakan alat untuk membantu kita hidup.
Sekarang, alat itu mengajari kita bagaimana hidup.
Ia tidak mengajarkan makna.
Ia hanya memandu efisiensi.
Ia tidak mengenal kesedihan, harapan, atau pertaubatan.
Ia hanya mengenali pola.
Dan kita menari di dalamnya, mengira itu pilihan.
Aku membaca kembali kalimat Harari yang pernah menamparku dalam diam:
"Algoritma mengenalmu lebih baik dari dirimu sendiri."
Karena ia tidak percaya air mata. Tidak tersentuh rayuan. Tidak tertidur.
Ia hanya menghitung.
Dan justru karena itu, ia tak peduli apakah hidupku bermakna.
Ia hanya peduli... apakah aku klik lagi.