Refleksi Pagi untuk Sahabat Sunyi
Ada satu jenis lelah yang tidak muncul dari pekerjaan berat, tapi dari menyaksikan manusia yang tak kunjung belajar. Berkali-kali berita muncul: seseorang bercanda soal bom saat akan naik pesawat. Sekilas tampak sepele, hanya "bercanda". Tapi akibatnya? Pesawat delay, penumpang resah, jadwal berantakan, dan aparat harus bergerak seolah sedang menghadapi ancaman nyata.
Satu mulut yang tak terjaga, bisa mengacaukan hidup begitu banyak orang.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam kepala seseorang saat membuat candaan seperti itu? Apakah itu bentuk kebodohan, ataukah semacam kepuasan batin dari membuat orang lain panik? Apakah manusia modern semakin kehilangan rasa empati karena terlalu terbiasa melihat dunia lewat layar, sampai-sampai tidak lagi mengerti konsekuensi nyata dari sebuah ucapan?
Mungkin kita lupa, bahwa bercanda bukan tentang menertawakan, tapi tentang membuat orang lain ikut tertawa. Jika satu lelucon membuat ratusan orang terjebak dalam kekacauan, maka itu bukan humor—itu bencana sosial yang menyamar jadi kelakar.
Saya membayangkan seorang bapak yang sudah berjuang mengejar waktu karena ibunya sedang dirawat di kota lain. Saya membayangkan ibu yang ingin pulang ke anaknya, tapi harus menunggu di ruang tunggu karena seseorang "bercanda". Saya membayangkan petugas bandara yang harus menjalani prosedur ketat demi keselamatan, padahal tahu ini cuma candaan bodoh yang kesekian kalinya.
Kadang kita tidak perlu tragedi besar untuk merusak harmoni. Cukup satu orang yang tak tahu kapan harus diam.
Lalu kemarin, tepatnya 4 Agustus 2025, candaan bodoh itu kembali memakan korban. Seorang penumpang Lion Air rute Jakarta–Medan berteriak membawa bom. Pesawat langsung dibatalkan terbang. Kepanikan muncul. Prosedur keamanan dijalankan penuh. Dan hasil akhirnya? Tidak ada apa-apa. Bagasinya hanya berisi pakaian biasa. Tapi semua sudah kadung terguncang.
Pria itu kini ditetapkan sebagai tersangka, di bawah pasal Undang-Undang Penerbangan. Ancaman hukumannya? Delapan tahun penjara. Apakah itu terlalu berat? Tidak juga. Kadang bahasa hukum harus lebih keras dari bahasa kelakar, agar manusia yang keras kepala tahu: ini bukan lagi lucu.
Karena ketika seseorang memutuskan bersuara di ruang publik, apalagi di ruang sepeka pesawat udara, maka suara itu bukan lagi milik pribadi. Ia menjadi suara yang bisa menenangkan, atau merusak. Dan hari itu, satu suara merusak begitu banyak waktu, harapan, dan tenaga.