Di desa Ciinangka, Parman dikenal sebagai tukang servis kipas angin keliling. Tapi jasa tambahannya yang paling banyak dicari --- dan diam-diam ditunggu --- bukan teknis, tapi romantis: puisi cinta dan juga selipan mawar merah yang dia petik dari pagar rumahnya
Parman bukan penyair sejati. Ia hanya percaya bahwa setiap wanita suka bunga dan butuh kata-kata manis, sayangnya dia berikan pada tempat dan waktu yang salah.
Awalnya, tak ada yang mencurigai. Parman hanya dianggap nyentrik.
Datang ke rumah Bu Narti, servis kipas, lalu memberi bait:
"Di cangkir ini kau suguhkan rindu,
aromanya lebih dari kopi, lebih dari waktu."
Bu Narti tersenyum-senyum sendiri di dapur. Tapi Pak Narto mencatat itu di hatinya, yang membara terbakar cemburu.
Lalu Juwita, si penjual nasi goreng, mulai salah masukin garam karena Parman bersenandung di warung:
"Minyak panas di nasi goreng,
Kau bolak-balik penuh aroma
tapi hatiku yang justru terbakar
Oleh rasa yang menyebar."
Tak sampai seminggu, desas-desus menyebar: "Parman itu bukan sekadar tukang kipas, tapi tukang tebar benih. Kerjaannya merayu wanita, perawan, janda atau istri orang semua dihajar"