Di suatu sore yang cerah, Bu Lurah dengan semangat 45 mengumpulkan pengurus PKK di balai desa. Dia baru saja mendapat kabar penting: circle sosialita dari Jakarta akan datang memberikan penyuluhan tentang diet Mediterania. Sebagai sosok yang aktif di media sosial dan bercita-cita membuat desa ini lebih trendy, Bu Lurah ingin memastikan semua warga hadir. Semua pengurus PKK harus turut membantu.
Misi pun dimulai. Dengan langkah tegap dan penuh wibawa, Bu Lurah mendatangi rumah-rumah warga. Saat bertemu Bu Suti di depan rumahnya yang dipagari tanaman kelor dan bayam liar, ia pun menyampaikan undangan itu dengan penuh semangat.
"Bu Suti, jangan lupa besok datang ke balai desa ya! Kita akan dapat ilmu baru tentang pola makan sehat, diet Mediterania!"
Bu Suti yang sedang menjemur krupuk melirik Bu Lurah sebentar, lalu menjawab dengan santai, "Diet apalagi, Bu? Saya ini sudah diet dari lahir. Setiap hari makan tempe cuma seperempat papan, dimakan berempat sama suami dan anak-anak. Sayurnya ya dari pagar, lauknya kadang sambel terasi, daging setahun sekali, itu pun kalau kebagian kurban. Ini diet level mbah-mbahnya diet. Ada diet yang lebih tinggi dari ini?"
Bu Lurah tercekat. Ini bukan respons yang ia harapkan. Dia mencoba menjelaskan bahwa diet Mediterania itu bagus, berbasis ikan, minyak zaitun, kacang-kacangan, dan sayuran segar.
Bu Suti menatap kosong, lalu berkata, "Minyak zaitun? Itu kayak minyak goreng tapi buat orang kaya ya, Bu? Kalau di sini, minyak goreng subsidi aja dipakai empat kali baru dibuang. Itu pun masih sayang."
Tak mau kalah, Bu Lurah berusaha memberi contoh konkret. "Jadi begini, Bu Suti, diet Mediterania itu bagus untuk jantung, bisa bikin panjang umur! Makannya tuh banyak serat, protein sehat dari ikan, dan lemak baik dari minyak zaitun."
Bu Suti tertawa kecil. "Lho, Bu Lurah, wong saya udah setengah abad lebih masih sehat-sehat aja. Nenek saya malah sampai umur 90, padahal dia makanannya cuma singkong, daun pepaya, sama ikan asin yang direbus ulang dua kali biar lebih awet. Itu nggak Mediterania tapi tetep panjang umur, lho!"
Bu Lurah mulai kebingungan. "Tapi, Bu, diet ini katanya bisa bikin tubuh lebih ideal dan nggak gampang sakit!"
Pak Karyo, yang dari tadi duduk di bangku depan rumahnya, ikut menyahut, "Lha wong di sini orang sakit ya paling minum rebusan jahe, temulawak, atau kencur. Kagak ada yang ribet-ribet, Bu. Kami ini udah Mediterania versi lokal!"
Bu Lurah semakin pusing. Ia baru sadar, ternyata warganya tanpa sadar sudah menjalankan diet super hemat yang jauh lebih ekstrim dari diet Mediterania. Tanpa ikan salmon, tanpa minyak zaitun, tanpa quinoa, mereka tetap hidup sehat dan kuat.
Keesokan harinya, circle sosialita dari Jakarta datang dengan pakaian rapi dan aroma parfum impor. Mereka mulai menjelaskan manfaat diet Mediterania dengan penuh semangat, menampilkan slide penuh gambar alpukat, salmon, dan minyak zaitun.
Bu Suti menyimak sejenak, lalu berbisik ke Bu Marni di sebelahnya, "Kalau itu makanan wajib, yo wis, kita bubar aja. Daripada pusing mikirin diet mahal, mending lanjut goreng tempe sama sambel terasi, sayur bayam atau sayur daun kelor, wis dijamin sehat pisik dan pesak"
Dan begitulah, penyuluhan selesai tanpa satu pun warga yang berubah pola makan. Mereka tetap setia pada menu diet warisan leluhur yang terbukti membuat mereka bertahan hidup dalam segala kondisi. Bu Lurah akhirnya pasrah.Â
Mungkin, satu-satunya yang perlu diet di desa ini bukanlah pola makan warganya, tapi ambisi kota yang ingin menyalurkan tren tanpa memahami kenyataan di desa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI