Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dedikasi dan Cinta Sejati (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan yang Kita Rindukan

21 Maret 2024   16:10 Diperbarui: 23 Maret 2024   07:00 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan murid | Sumber: Dokumentasi pribadi

Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Konsekuensi logis dari amanat undang-undang dasar tersebut adalah negara wajib dan bertanggung jawab untuk mendorong seluruh warganya agar tersentuh oleh pendidikan. 

Negara mempunyai kewajiban membentuk sistem pendidikan yang mapan guna mencerdaskan kehidupan rakyatnya. Karena pendidikan adalah dasar dari peradaban. Dan pendidikan adalah faktor kunci dari kemajuan sumber daya manusia suatu bangsa.

Bangsa yang memiliki sumber daya manusia unggul maka dengan sendirinya bangsa itu akan menjadi bangsa maju. Sumber daya manusia yang unggul di bentuk melalui sistem pendidikannya.

Sedikit mundur ke belakang, berabad-abad yang lalu di masa kejayaan Yunani kuno pendidikan saat itu awalnya digerakkan oleh para budak.

Perbudakan pada masa Yunani kuno adalah hal yang wajar dan legal. Budak dianggap seperti barang milik pribadi dan dimanfaatkan secara bebas oleh majikannya. 

Para majikan kaya dan orang-orang berduit saat itu memberdayakan para budak untuk menjadi "guru" bagi anak-anak mereka.

Para budak ini mengajari cara membaca, menulis dan berhitung sampai pada urusan etika kepada anak majikannya.

Baru setelah anak majikan dewasa mereka disekolahkan pada para pengajar atau filosof yang ada pada saat itu. 

Dalam perkembangannya kemudian muncul para kaum filosof dari aliran sofisme yang hanya mau mengajar dan mendidik para murid dari golongan keluarga kaya.

Para kaum sofis ini adalah guru dengan segala ilmu pengetahuan dan wawasan ilmunya yang dikomersialkan. 

Pendidikan menjadi barang mahal di tangan kaum sofis ini. Hanya orang-orang berduit yang bisa mengakses ilmu pengetahuan dari mereka.

Kaum sofis adalah cerminan guru profesional yang sangat eksklusif, elitis dan sangat materialis saat itu.

Lalu apa kabarnya dunia pendidikan kita hari ini? Sudahkah negara hadir untuk membentuk sistem pendidikan yang baik, murah, berkualitas serta terjangkau untuk masyarakatnya? Sudahkah pendidikan bisa diakses dan dinikmati oleh seluruh anak bangsa?

Persoalan Kesenjangan

Dalam berbagai literatur serta kajian jurnal ilmiah tentang pendidikan di Indonesia masalah yang paling mendasar adalah persoalan kesenjangan. 

Kesenjangan ini juga sebetulnya menjadi persoalan menyeluruh dalam berbagai bidang kehidupan bernegara kita. Di bidang sosial, ekonomi, juga pendidikan.

Di satu sisi kita menginginkan sebuah sistem pendidikan maju tapi di sisi lain terkadang kita lupa bahwa di dalam semangat kemajuan yang coba digelorakan itu terdapat anasir-anasir yang semestinya lebih dahulu untuk dibenahi.

Bukan hanya sebatas bicara bongkar pasang kurikulum, bukan hanya bicara masalah masifnya pelatihan guru atau bicara besarnya anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah untuk bidang pendidikan ini.

Karena memang sejatinya fakta di lapangan menunjukkan kesenjangan di bidang pendidikan itu semakin lebar dan menyeruak ke permukaan.

Ambil contoh sederhana dalam satu wilayah zona kecamatan saja fasilitas sarana prasarana yang dimiliki sekolah satu dengan yang lain berbeda ketercukupan dan kelayakannya. 

Di sekolah A gedungnya sudah bagus, sarana prasarana pendukung operasionalnya sudah lengkap, tenaga pengajarnya sudah tercukupi. Tapi di sekolah B justru terjadi kebalikannya gedungnya masih seadanya, laptop, komputer, proyektor dan sarana lain juga belum layak serta mencukupi diperparah dengan tenaga pengajar yang pas-pasan jumlahnya bahkan kurang. Lalu bagaimana kita mau bicara pendidikan maju?

Ini baru gambaran perbandingan sekolah pada satu zona kecamatan. Akan lebih jauh tingkat kesenjangan itu jika ditarik pada cakupan yang lebih luas.

Lebih-lebih jika bicara kondisi di daerah 3T akan semakin kentara kesenjangan itu. Luasnya wilayah geografis Indonesia dengan tingkat keberagaman yang tinggi juga menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu.

Bahkan jika ditelisik lebih jauh sesungguhnya di dalam internal sekolah sendiri kesenjangan itu sudah ada dan terasa. Terdapat guru dan tenaga teknis berstatus sebagai ASN atau pegawai tetap yayasan sementara di sisi lain ada juga yang berstatus sebagai tenaga honorer.

Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat kesejahteraan diantara mereka pun jauh berbeda. Apa ini juga tidak disebut kesenjangan?

Bagaimana mungkin mewujudkan cita-cita pendidikan kita yang baik dan bermutu jika anasir-anasir seperti ini tidak dibenahi terlebih dahulu. Dan ini semua merupakan kewajiban dari pemerintah juga negara dengan segala otoritas kebijakan yang dimiliki.

Negara wajib membenahi semua persoalan di atas untuk menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Sekolah-sekolah dengan sendirinya akan bergerak maju jika faktor-faktor pendukungnya terpenuhi.

Sarana prasarananya tercukupi, tenaga kerjanya lengkap dan dijamin kesejahteraannya, kebijakan politik yang murni menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk memajukan peradaban bangsa bukan sebagai komoditas politik belaka.

Ini semua harus dibenahi bersamaan dengan pembenahan kurikulum yang sering gonta-ganti itu.

Konsep Education for All

Kesenjangan dalam bidang pendidikan juga bukan hanya persoalan timpangnya ketersediaan sarana prasarana dan guru yang ada di sekolah. Persoalan akses terhadap pendidikan pun masih menjadi ganjalan untuk kita.

Konsep education for all menekankan akan pentingnya pendidikan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, orang kaya maupun orang miskin, sehingga dalam penerapan pendidikan itu tidak ada diskriminasi.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa biaya pendidikan semakin tahun semakin mahal. Khususnya pada biaya pendidikan tinggi.

Semakin tahun biaya kuliah semakin mahal. Sehingga pada akhirnya pendidikan tinggi dominan bisa dijangkau oleh mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Yang notabene berkecukupan dari sisi ekonomi.

Masyarakat kelas bawah jika ingin menguliahkan anaknya terpaksa harus merogoh kocek lebih dalam, menjual tanah, sawah dan aset yang dipunyai atau mencari pinjaman hutang di bank. 

Berita tentang mahasiswa yang terjerat pinjaman online (pinjol) guna membiayai perkuliahannya menjadi fakta yang tidak terbantahkan jika pendidikan tinggi di negara kita tergolong mahal.

Mereka para mahasiswa terpaksa berutang kepada lembaga pinjaman online (pinjol) untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selengkapnya di sini.

Bukan hanya mahasiswa saja yang terjerat pinjol bahkan menurut laporan OJK beberapa waktu lalu korban pinjol terbanyak adalah dari kalangan guru itu sendiri.

Tentu kita tidak ingin jika sistem pendidikan kita dijalankan dengan semangat kapitalistik seperti ideologi kaum sofis di atas.

Negara mestinya bisa menata sistem pendidikan kita agar terjangkau oleh semua kalangan tanpa adanya diskriminasi. 

Hal ini juga sejalan dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam Pancasila kita.

Menjadi tugas negara untuk mendistribusikan prinsip keadilan sosial itu agar dapat menjangkau semua kalangan. 

Kita semua bangsa Indonesia merindukan pendidikan yang tertata dan merata. Pendidikan yang membuat bangsa ini maju. Pendidikan yang berpihak kepada kepentingan kemajuan peradaban bangsa. Pendidikan yang memerdekakan kita dari kungkungan kapitalisme dan komersialisasi.

Agaknya dalam masalah ini kita mesti belajar lebih banyak dari negara tetangga kita Singapura. Bagaimana Singapura sebuah "negara kecil" tapi mampu menata sistem pendidikannya dengan baik. Sehingga Singapura kini menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di Asia Tenggara bahkan salah satu yang terbaik di dunia. 

Setidaknya terdapat 4 (empat) faktor kunci yang membuat pendidikan di Singapura begitu majunya. Mulai dari baiknya kualitas guru dan pengajar, budaya belajar yang kondusif, sistem pendidikan yang berfokus pada mata pelajaran tertentu, sampai pada biaya pendidikan yang terjangkau. Sementara itu Indonesia masih berjuang di empat ranah tadi.

Ending dongeng, saya sebagaimana para pembaca semua tentu merindukan akan adanya penataan sistem pendidikan kita ke arah yang lebih baik. Tingkat kesenjangan akan menurun yang dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. 

Agar kemajuan pendidikan kita tidak seperti menara gading yang hanya indah dibayangkan tetapi sulit untuk diwujudkan.

Sejatinya pembangunan dalam pendidikan itu juga harus seiring sejalan dengan pembangunan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya.

Pendidikan tidak akan bisa bergerak maju sendirian tanpa didukung oleh kemajuan bidang yang lain. Dan itu semua merupakan tugas dan tanggung jawab dari pemerintah dan negara sebagai pemilik otoritas kekuasaan.

Terlihat kita sedang berjuang ke arah sana. Meskipun lambat dan tertatih-tatih.

Semoga pemerintah tidak hanya sibuk untuk menggaungkan program merdeka belajar dengan segala kebijakannya itu. Tetapi pemerintah juga semestinya membenahi segala anasir yang menjadi pondasi akan kemajuan pendidikan itu sendiri. Sehingga tidak ada lagi terdengar guru yang terjerat pinjol karena minimnya kesejahteraan. Atau terdengar kabar mahasiswa terjerat pinjol karena tidak mampu membayar UKT. Atau terdengar kembali gedung sekolah yang roboh karena kurangnya pemeliharaan.

Sejatinya hal-hal semacam itu merupakan indikasi bahwa pendidikan kita masih menyisakan ganjalan-ganjalan persoalan yang terkadang luput dari sorot mata kamera dan sensasi di sosial media.

Tetap semangat. Salam merdeka belajar dan salam merdeka dari diskriminasi dan komersialisasi pendidikan. Semoga. Maju terus pendidikan Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun