Di sela hujan yang tak kunjung reda, menunggu waktu berbuka, banyak cerita mengalir. Delapan tahun hampir, kami berbuka puasa berdua. Bertiga. Lalu berempat.
Kedua anak lari-larian. Kami mengawasi saja sambil rasa-rasa pacaran.
Di Sumbawa dulu, kami suka keliling kota yang ramai orang berjualan takjil. Kamu biasanya beli lauk saja. Ikan-ikan goreng sambal sampai ayam taliwang. Urap sampai sambal teri. Menu seperti itu sering menggoda kami.
Teringat pula ramadan bersama pertama kami, perutnya sudah berisi. Karena itu, ia tak kuat masak karena mencium bau saja bisa tak berhenti muntah.
Lalu ramadan menjadi berbeda di persinggahan selanjutnya. Bandung. Kami sama-sama melanjutkan kuliah. Aku di Bintaro. Dia di Bandung. Seminggu sekali bertemu. Tentu waktu itu tak kusia-siakan dengan selalu menanti masakan yang dihidangkan.
Kini kami di Citayem, perbatasan Depok dan Kab. Bogor. Akhir pekan pertama puasa, kami keluar rumah dan bernostalgia, mengenang segala romantisme yang pernah ada.
Sementara hujan seperti sebuah puisi. Dan di hati, aku ingin mencintainya dengan istimewa, meski Tuhan membuatnya menjadi sederhana.