Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma Pilihan

Romantisme Takjil dalam Kenangan Kami

12 Mei 2019   20:09 Diperbarui: 12 Mei 2019   20:21 117 2


Istilah takjil (yang sebenarnya keliru secara etimologi) baru kukenal saat jadi anak Rohis di SMA. Takjil di kemudian hari menyimpan kisah yang tidak mungkin kulupakan.

Sebagai anak kos, kantong selalu tipis. Bulan puasa bukanlah bulan hedon, yang membuatku bisa berbelanja bebas di sepanjang jalan Taman Sari. Berbagai panganan dijual. Berbagai es dijajakan. Bila dilihat, air liur ingin menetes.

Namun, ya, semuanya hanyalah pandangan mata.

Setiap hendak berbuka, aku hanya bisa mengantre dari masjid ke masjid. Paling sering ya di Masjid Salman. Penuh anak-anak ITB. Kami akan mengantre demi seporsi kolak dan beberapa butir kurma beserta segelas air mineral. Setelahnya, kami akan tunaikan salat Magrib sebelum makan malam, tarawih, lalu pulang ke kos.

Kuungkapkan kisah itu saat kami terpaksa berteduh sore tadi. Niat hati berburu takjil ke Bojongsari. Berbuka di Ampera sambil cari susu buat anak di Giant. Namun, belum sampai setengah perjalanan hujan mengguyur begitu derasnya. Kami melipir di tempat terdekat di Pengasinan. Lesehan sederhana ada di sana.

Kami sama-sama pernah berkuliah di ITB. Bedanya dia keluar lewat Sabuga. Aku keluar tanpa terduga.

Setelah keluar dari ITB, bahkan kebiasaan berbuka pum berubah. Bisa dibilang begitu bedug berbunyi, aku boro-boro minum sirup, segelas air putih hangat jadi pembuka. Setelah itu makan malam seperti biasa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun