Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membuang Makanan Sama Dengan Menggores Luka di Hati Petani

6 Desember 2020   07:41 Diperbarui: 6 Desember 2020   07:42 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan sudah menyediakan banyak sekali cermin di sekitar kita untuk berkaca. Memantulkan setiap sikap dan perbuatan, agar kita tahu mana yang perlu dibuang dan mana yang perlu kita perbaiki demi kebaikan diri kita sendiri.

Seperti pada suatu siang ketika aku beristirahat sejenak di rerimbunan pohon di tempat parkir sebuah pasar tradisional. Di sebelahnya terdapat warung makan kecil. Di warung tersebut, penarik becak, pedagang, penjaga parkir dan buruh bangunan kulihat duduk nongkrong di bangku warung.

Beberapa dari mereka membeli nasi bungkus atau minta dibuatkan mi instan. Tapi, ada satu pembeli menarik perhatianku. Dia tidak membeli nasi bungkus atau mi instan seperti lainnya, melainkan membeli sebungkus lontong.

Tidak ada gorengan, tidak ada lauk pauk atau sayuran. Bahkan sekedar kuah mi instan pun tidak tersaji di depannya. Cuma sebungkus lontong dan sejumput garam di lepek kecil.

Dibukanya sebagian daun pisang yan membungkus lontong tersebut pelan-pelan, lalu dicelupkannya ujung lontong yang sudah terbuka pada lepek berisi garam. Lantas, lontong yang sudah dicelupi garam itu dimakannya dengan tambahan satu buah lombok. Dikunyahnya perlahan seakan dia menikmati makanan mewah.

Selesai satu gigitan, dibukanya bungkus daun pisang di bagian bawah dan ditotolkannya bagian lontong yang sudah terbuka ke lepek garam, lalu dia memakannya dengan lombok. Begitu terus sampai lontong satu bungkus itu habis tak tersisa. Setelah makan, dia pun minum satu gelas air mineral.

Coba terka, berapa harga satu bungkus lontong dan satu gelas air mineral?

Cuma seribu lima ratus rupiah.

Dengan memakan sebungkus lontong, ditambah garam dan lombok dan segelas air mineral, orang itu bisa berhemat dibanding dia membeli nasi bungkus atau mi instan seharga lima ribu rupiah.

Membuang Makanan Sama Dengan Menggoreskan Luka di Hati Petani

Di saat ada orang lain berhemat dan tak mampu membeli makanan layak, banyak di antara kita malah sering membuang-buang makanan dan berlebihan dalam makanan. Kita seperti orang yang tak tahu terima kasih. Membuang makanan sama dengan menggoreskan luka di hati petani dan orang-orang yang sudah bekerja keras menyediakan bahan makanan kita.

Tidakkah kamu melihat bagaimana kakek-kakek tua di desa, dalam balutan plastik seadanya sebagai pelindung dari hujan yang menyerupai badai, tetap tekun mengayuh cangkul untuk menggemburkan sawah sebagai persiapan bercocok tanam.

Di hari berbeda, di bawah naungan caping lusuh, ibu-ibu tua membungkuk menanam padi sepanjang hari. Di saat matahari teramat terik hingga menyisakan gosong di wajah mereka.

Saat panen, tidak serta merta nasi sudah siap terhidang di meja. Para petani dan buruh tani masih harus mengangkut padi, berjalan terseok di pematang sawah yang licin. Sampai di rumah atau lumbung penyimpanan, mereka kemudian menjemur padi-padi tersebut. Selang beberapa hari atau minggu tergantung teriknya sinar mentari, mereka mengangkutnya ke tempat penggilingan padi, baru kemudian berubah menjadi beras.

Dari masa menyemai benih hingga mengangkut ke tempat penggilingan padi, butuh waktu sekitar lima bulan bahkan lebih untuk mewujudkan bulir-bulir beras itu sampai ke tangan kita. Selama itu pula, para petani dan buruh tani tidak memedulikan dinginnya air hujan atau teriknya matahari yang memanggang.

Lalu sekarang, tanpa rasa empati apapun banyak orang seperti kita dengan entengnya membuang-buang makanan. Seolah dengan satu jentikan jari dan mantra sihir sederhana kita bisa mendatangkan makanan apa saja dan kapan saja.

Dalam bukunya An Essay on the Principle of Population yang diterbitkan beberapa abad yang lalu, Thomas Maltus pernah meramalkan apa yang bisa kita sebut "kiamat makanan". Ketika manusia semakin banyak, rumah dan gedung dibangun hingga menyita lahan pertanian. Tanah untuk bercocok tanam sudah semakin sedikit. Saat itulah bermilyar-milyar uang yang kita miliki tak ada gunanya sama sekali, karena tak ada lagi sumber daya alam yang bisa kita olah menjadi bahan makanan.

Kawan, makanan itu untuk dimakan, bukan dibuang. Sekali kamu mencolek makanan, maka datang kewajiban bagimu untuk menghabiskannya. 

Pesanlah makanan sesuai ukuran porsimu. Kalau tidak habis, tidak usah malu membungkusnya untuk dimakan lagi nanti. Seandainya masih merasa kenyang, jangan segan menolak tawaran makan dari orang lain.

Jutaan perut kelaparan di luar sana, maka pilihanmu membuang makanan sama dengan menggoreskan luka dihati mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun