Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan terkait aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law. Dalam jumpa pers yang disiarkan langsung kanal YouTube Sekretariat Negara, Jumat (9/10), Presiden Jokowi mengatakan aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia terjadi karena adanya hoaks dan disinformasi.
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilaterbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," kata Jokowi.
Kepala negara mencontohkan beberapa hoaks yang beredar di media sosial dan akhirnya memicu gelombang protes dari buruh dan mahasiswa, antara lain terkait upah minimum, soal hak cuti dan hak upah, hingga pemberhentian kerja atau PHK oleh perusahaan. Jokowi juga mencontohkan hoaks lain seperti terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), jaminan sosial, hingga perizinan bagi pendidikan.
Pengesahan RUU Cipta Karya Dinilai Cacat Formil dan Cacat Substansi
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut seolah menjadi pembelaan diri dari pemerintah. Jokowi hanya menyoroti masalah hoaks dan disinformasi, tapi mengecilkan proses pengesahan RUU Cipta Karya yang dinilai banyak pihak cacat formil dan cacat substansi.
Salah satunya adalah tidak tersedianya draf final RUU Cipta Karya. Ekonom INDEF, Dradjad H. Wibowo bahkan menyebut Rapat Paripurna DPR atas UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada Senin (5/10) lalu sebenarnya hanya mengesahkan kertas kosong.
Pernyataan Drajad H. Wibowo ini mengacu pada pengakuan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dan anggota tim perumus RUU Cipta Kerja Ledia Hanifa Amaliah. Dalam sebuah tayangan di televisi, Ledia Hanifa mengatakan perumusan draf RUU Ciptaker mengalami kendala dalam keterbatasan tim terutama dalam penyisiran sinergi isi yang banyak itu.
Karena tim perumus belum menyelesaikan tugasnya, maka tidak ada draf hasil tim perumus yang bisa diserahkan pada rapat Panitia Kerja DPR. Lantas, bagaimana bisa kemudian DPR RI mengesahkan sesuatu yang belum final perumusannya?
Sengkarutnya UU Cipta Kerja juga terlihat dari jumlah tim perumus yang terlibat. Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya sudah menunjuk Ledia Hanifa dan Andreas Eddy Susetyo sebagai Tim Perumus RUU Ciptaker. Mengingat draf awal RUU yang beredar luas terdiri dari 1028 halaman, sangat tidak masuk akal apabila 2 orang tersebut sekalipun sudah dibantu sekretariat Badan Legislasi bisa menyelesaikan tugasnya dalam waktu singkat.
Hoaks dan Disinformasi Muncul Karena Kesalahan Pemerintah
Jika pemerintah menyalahkan masyarakat atas beredarnya hoaks dan disinformasi dari RUU Cipta Kerja, semestinya pemerintah juga bisa bercermin, mengapa sampai ada hoaks dan disinformasi tersebut. Memang tepat apa yang dikatakan banyak pihak, bahwa pangkal dari penolakan RUU Cipta Kerja ini berasal dari pemerintah dan DPR sendiri yang terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja, yang bahkan draf finalnya pun belum selesai dirumuskan. Mengutip pernyataan sikap guru besar dan dosen UGM:Â
"Pekerjaan politik" tengah malam selalu dekat dengan penyimpangan.