Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Campur Tangan Jenderal Nasution di Balik Jatuhnya Soekarno (Bagian 3)

30 September 2020   20:25 Diperbarui: 1 Oktober 2020   16:11 4483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karto dan Burhan terdiam, mencoba merekaulang sepak tejang Jenderal Nasution dalam peristiwa G30S dan sesudahnya.

"Aku masih bingung, Lim. Berhubung kamu menyinggung bulan Maret 1966, itu kan saat di mana Soekarno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kepada Soeharto. Nah, selentingan yang beredar, Soekarno merasa dipaksa menandatangani surat itu oleh Soeharto. Ada beberapa versi yang menyebabkan peristiwa bersejarah itu kabur. Mengapa kok Soeharto? Dan bukan Nasution seperti teorimu yang mengatakan ada campur tangannya di balik kejatuhan Soekarno?

Alim menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan penuturannya.

"Ya, harus kita akui hilangnya naskah asli Supersemar yang "terkubur" bersama dengan meninggalnya 3 jenderal pembawa Supersemar (M. Jusuf,  Amirmachmud dan Basuki Rahmat ) serta Soeharto sendiri membuat lubang yang cukup besar dalam kronologi jatuhnya kekuasaan Soekarno.  

Dalam Supersemar versi Angkatan Darat, di poin kesatu Soeharto diberi wewenang 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan...'. Sedangkan dalam Supersemar versi lain yang diklaim asli, tidak ada poin tersebut. Dari 4 poin dalam Supersemar versi non Angkatan Darat, Soeharto diperintahkan untuk berkoordinasi dengan panglima-panglima lainnya dan (hanya) mengambil tindakan pengamanan untuk menjamin keselamatan Presiden serta 'melestarikan ajaran Presiden. Satu kesaksian dibantah kesaksian lainnya, membuat sejarah Supersemar hampir mustahil terungkap," jawab Alim.

"Yang aku tanyakan itu mengapa bukan Nasution yang menerima Supersemar? Kok Soeharto?" tanya Burhan. 

Mendengar pertanyaan tersebut, Alim tersenyum. 

"Makanya, Han, banyaklah membaca. Setelah menolak tawaran menjadi Wapres, Nasution dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan Kabinet Dwikora I menjadi Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (posisi ini dijabat Mayjen Sarbini). Praktis, sejak 24 Februari 1966 (pelantikan kabinet Dwikora II) Nasution tidak memegang jabatan apapun di pemerintahan Soekarno."

"Nah, kamu sendiri mengakui kalau Soeharto punya peran sentral dalam peristiwa Supersemar, sementara Nasution sendiri praktis tidak berbuat apa-apa dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu dimana letak campur tangan Nasution seperti yang kamu katakan tadi?" tanya Burhan.

"Disinilah letak kecerdikan Nasution. Meski sudah tidak menjabat apa-apa, Nasution tetap disegani dan dihormati oleh banyak petinggi militer, termasuk Soeharto sendiri.

Ketika Soekarno menerima laporan adanya "pasukan misterius" saat sidang kabinet Dwikora II yang hendak menangkap menteri-menteri  terduga ikut serta dalam G30S, Soeharto mengutus 3 jenderal untuk menemui Soekarno yang mengungsi ke Istana Bogor. Lewat 3 jenderal itu, Soeharto memberi jaminan mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun