Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Syukurlah, Pandemi Corona Menyadarkan Kita agar Tidak Kalap Berbelanja

2 Mei 2020   06:37 Diperbarui: 2 Mei 2020   07:00 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandemi Corona menyadarkan kita untuk tidak kalap berbelanja makanan (dokpri)

Steven Covey dalam bukunya "7 Habits of Highly Effective People" menasehatkan bahwa kita harus memprioritaskan hal-hal yang sangat penting terlebih dulu ketimbang hal lainnya. First thing first. Alih-alih menumpuk barang, lebih baik memenuhi sekedar yang dibutuhkan.

Kita bisa melihat contohnya saat banyak orang dilanda panic buying membeli masker, barang yang tiba-tiba menjadi trending dan langsung raib dari pasar. Dari yang semula 1 box harganya tak sampai Rp.100 ribu, mendadak naik berkali-kali lipat.

Seolah ingin balas dendam, harga masker langsung terjun bebas, kembali ke harga awalnya. Orang-orang yang dulu menimbun masker dengan harapan bisa menangguk untung besar sekarang gigit jari. Masker yang sudah kadung ditimbun langsung diobral semurah-murahnya.

Begitu pula dalam hal belanja makanan. Sebelum pandemi, nafsu belanja makanan kita menjadi liar tak terkendali. Saat siang mungkin banyak yang sanggup menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu lainnya. Tapi perhatikanlah setelah adzan maghrib tiba.

Ini adalah saatnya balas dendam dengan makan yang lebih mewah. Seolah tidak afdhol jika tidak berbuka puasa dengan makan di luar rumah bersama teman-teman, relasi atau rekan kerja. Dari semula kelas warteg naik ke kafe. Yang kafe naik jadi kelas restoran. Yang kelas restoran pindah ke hidangan eksklusif koki hotel. Yang biasa di hotel mungkin pelesir ke negeri jiran.

Berbuka puasa juga kurang nikmat jika tidak ada menu makanan khas Ramadan. Pasar takjil ramai dijejali masyarakat yang berburu makanan "langka", yang mungkin hanya sekali dalam setahun bisa dinikmati. Sekali dua kali tidak mengapa. Tapi bagaimana jika "ritual" itu berlangsung selama satu bulan penuh? 

Sekarang, kita harus berpikir dua kali jika ingin menumpuk bahan makanan. Kita mulai belajar mengurutkan ulang daftar belanja yang harus segera dipenuhi. Kita mulai belajar memangkas piramida kebutuhan, dari yang semula bisa sampai tersier sekarang mungkin cuma jadi dua: kebutuhan primer dan sekunder saja.

Tak ada lagi buka puasa bersama. Tak ada lagi hangout ke mall atau kafe-kafe mewah. Tak ada lagi pasar takjil yang menyediakan aneka menu khas Ramadan, meski setidaknya masih bisa kita lihat beberapa penjualnya di pinggir jalan.

Kita bisa melihat pandemi Covid-19 ini dalam perspektif yang baru, bahwa dengan kehendak-Nya, kita bisa memaknai hakekat ibadah puasa dengan sebenarnya. 

Puasa seyogyanya dimaknai sebagai upaya untuk menahan aneka hawa nafsu pada diri, termasuk diantaranya berlebihan dalam mengonsumsi sesuatu dan tidak kalap berbelanja makanan. Al Quran secara tegas menjelaskan bahwa berlebihan akan menyeret kita pada kemubaziran, dan orang yang mubadzir itu teman karibnya setan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun