Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Hujan Menitipkan Pesan

5 Desember 2019   22:46 Diperbarui: 5 Desember 2019   22:47 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan (sumber gambar diolah dari Canva.com)

Pagi tadi hujan menyapaku. Katanya dia diturunkan sebagai rahmat dari Tuhanku.

"Aku yang akan menyirami rerumputan, pepohonan, ladang, sawah dan pekarangan rumah kalian.

Aku sangat gembira dengan kedatangannya. Karena tentu akan sangat merepotkan jika kami harus menyirami seisi bumi yang mulai mengering.

Ketika dia tidak kunjung diturunkan, kami mulai khawatir. Karena bagaimana mungkin tanaman bisa tumbuh, daun-daun bisa silih berganti muncul, biji-bijian bisa terisi, bunga-bunga bisa bermekaran, dan buah bisa ranum menguning.

Siang hari hujan datang lagi menyapaku. Kembali dia bilang diperintahkan turun sebagai rahmat dari Tuhanku.

"Aku yang akan mengisi sungai yang mulai mengering, waduk yang mulai menyusut, dan sumur yang mulai menurun permukaannya."

Leganya hatiku. Karena kami tak perlu khawatir tak lagi bisa memasak, minum, wudlu, mandi, dan mencuci. Ternak kami pun bisa terus makan, minum dan menghasilkan.

Malam ini hujan belum juga beranjak pergi. Dia masih setia mengirim pesan yang sama, bahwa dia turun sebagai rahmat dari Tuhan.

"Aku diturunkan dengan kadar yang seharusnya, dalam butiran yang tidak berat laksana bongkahan kerikil."

Tanpa dia katakan pun, aku sudah tahu. Karena saat dia turun, genteng rumah kami tidak roboh. Kepala kami tidak sakit, dan tanah pijakan kami tidak hancur. Airnya tidak terasa asin sehingga bisa kami minum. Dia turun merata di sekeliling tanpa harus menghalaunya dengan tangan kami, sehingga orang-orang di sekitar kami pun akan merasakan rahmat ini.

Di sela-sela rerintik air yang turun di kotaku sejak pagi tadi, hujan kembali mengirim pesan kepadaku.

"Aku tak pernah diturunkan untuk menjadi bencana. Aku hanyalah air yang turun dan terus mengalir ke bawah, menjadikan akar pepohonan sebagai pegangan, mencari jalan yang lapang untuk terus mengalir dan mencari muara di ujung perjalananku. Lalu tiba-tiba saja pegangan itu hilang. Pohon-pohon ditumbangkan, tumpukan sampah menghalangi jalanku dan muara itu tak kujumpai lagi. Pikirkanlah, bagaimana aku bisa terus mengalir? Jika kemudian aku menumpahkannya di tengah-tengah lingkunganmu, apakah lantas aku kau sebut sebagai bencana dan tidak lagi menjadi rahmat?"

Aku tak mampu menjawab. Hanya termenung memikirkan kebenaran yang kulihat di setiap pesan yang kudapat dari hujan.

Sebelum beranjak pergi, hujan menitipkan sebait pesan padaku.

Katanya "Sampai kapanpun aku adalah rahmat dari Tuhanmu. Tapi dirimulah yang membuat rahmat itu menghilang dan merubahnya menjadi bencana".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun