Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Sudah Rekonsiliasi, Mengapa Masih Membully?

18 Juli 2019   22:18 Diperbarui: 18 Juli 2019   22:28 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Momen pertemuan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto di kereta MRT dianggap banyak pihak sebagai titik puncak upaya rekonsiliasi. Sebelumnya, pihak Istana memang sudah mengisyaratkan keinginan untuk bertemu dengan kubu Prabowo. 

Namun, sebelum momen pertemuan "tidak sengaja" itu, keinginan pihak Istana seolah bertepuk sebelah tangan.

Baik Prabowo maupun Sandiaga Uno belum mau bertemu. Beberapa tokoh di kubu Jokowi pun kecewa, dan mengungkapkan ada pihak-pihak yang tak senang bila Jokowi bertemu Prabowo serta "memberi bisikan" pada pasangan capres 02 ini untuk menolak pertemuan rekonsiliasi.

Karena itu, momen pertemuan Jokowi dan Prabowo tak pelak memunculkan harapan bahwa sinyal rekonsiliasi semakin menguat. Sayangnya, fakta di kalangan akar rumput masyarakat mematahkan harapan tersebut.

Beragam reaksi, pendapat dan komentar muncul mengiringi pertemuan kedua tokoh yang saling berkompetisi dalam pilpres 2019 ini. Pendukung Prabowo-Sandi praktis terbelah dua. 

Satu pihak menyayangkan pertemuan tersebut, bahkan banyak pula yang menuduh Prabowo sudah mengkhianati umat, mengkhianati ijtima' ulama. Mereka ini, masih beranggapan bahwa pihak 01 melakukan kecurangan, karena itu tak pantas apabila Prabowo bertemu dan kemudian mengakui legalitas kemenangan kubu Jokowi-Ma'ruf.

Sementara pihak yang mendukung beralasan bahwa itu adalah bagian dari strategi Prabowo. Bahwa meski bertemu langsung dengan Jokowi, bukan berarti Prabowo sudah berkhianat dan beralih ke sisi petahana. 

Bahwa pertemuan "yang tidak disengaja" itu murni bukan keinginan Prabowo sendiri. Dan bermacam alasan lainnya yang intinya menyatakan sikap tidak keberatan dengan pertemuan tersebut.

Pertemuan Jokowi dan Prabowo tentu saja disambut gembira kubu petahana. Mereka menggambarkan pertemuan tersebut sebagai hasil kemenangan mutlak di kubu Jokowi. Bahkan, salah satu media nasional sampai menurunkan tajuk "Mengapa Prabowo akhirnya menyerah takluk."

Dari beragam reaksi yang diekspresikan masing-masing pendukung, harapan bahwa pertemuan Jokowi dan Prabowo menguatkan sinyal terjadinya rekonsiliasi nasional sepertinya masih jauh dari harapan. 

Sekalipun kedua tokoh itu sudah bertemu, benang persatuan antara kedua pendukung masih belum menyatu. Meskipun pertemuan Jokowi dan Prabowo dianggap sebagai puncak rekonsiliasi, sikap kedua pendukung masih tetap saling membully.

Contohnya adalah kasus dibongkarnya instalasi bambu Getah Getih. Banyak pendukung Jokowi langsung membully Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sementara kita tahu, Anies Baswedan ada di pihak Prabowo-Sandi, dan dirinya saat ini tak pelak menjadi salah satu tokoh harapan dari pendukung Prabowo.

Identitas Anies sebagai pejabat yang diusung dan dimenangkan kubu Prabowo ini membuatnya kerap menjadi sasaran kritik dan bullying netizen pendukung Jokowi. Ketika instalasi bambu Getah Getih dibongkar, mereka langsung "menyerang" Anies dan mengatakan pembongkaran instalasi seni rupa itu bukti ketidakbecusan Anies mengelola anggaran. 

Mereka menyayangkan pembongkaran tersebut dan mengulik kembali anggaran instalasi sebesar Rp. 550 juta yang oleh mereka dianggap berasal dari APBD, padahal faktanya tidak demikian.

Instalasi Getah Getih yang dibangun untuk menyambut Asian Games dananya berasal dari konsorsium BUMD. Sejak pertama dibangun, instalasi ini oleh perupanya memang sudah dikatakan tidak dimaksudkan sebagai instalasi permanen, maksimal hanya bisa bertahan 1 tahun karena material dasarnya adalah bambu. Tapi fakta ini tidak mengurangi intensitas bullying terhadap Anies Baswedan.

Tidak hanya Anies, pendukung Prabowo "garis keras" juga masih sering membully tokoh-tokoh pemerintahan. Tentu saja yang paling sering jadi sasaran adalah Jokowi sendiri.

Mengapa bisa seperti ini? Jika katanya sudah rekonsiliasi, mengapa masih membully?

Karena media tidak ikut serta menyejukkan suasana. Media, yang semestinya bisa berperan aktif dengan narasi berita yang sejuk malah kerap ikut memanas-manasi perseteruan pendukung kedua pihak ini. 

Satu sisi mereka sering menyanjung Jokowi, satu sisi mereka masih kerap "menyerang" tokoh-tokoh yang berada di pihak Prabowo.

Narasi perpecahan yang dibawa media inilah yang membuat pelita rekonsiliasi ini semakin meredup, alih-alih terang pasca pertemuan Jokowi-Prabowo. 

Sanjungan berlebihan terhadap Jokowi, justru pada hakikatnya telah menanamkan benih keangkuhan pada pendukungnya, dan di satu pihak sudah menebarkan benih kebencian di hati pendukung Prabowo.

Media, sebagai pilar keempat demokrasi sangat diharapkan bisa menjadi penengah di tengah perpecahan yang terjadi. Karena bagaimanapun juga, narasi mereka lah yang bisa membentuk opini masyarakat. 

Seperti lirik lagu Nasida Ria, "Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji. Bila wartawan mencaci, dunia ikut mencaci."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun