Pada suatu kali ditawarkan orang kepadanya sebuah jabatan sebagai amir di Irak, katanya: “Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan, dunia tuan-tuan itu untuk selamalamanya!”
Kali yang lain, seorang kawan melihatnya memakai jubah usang, maka katanya: “Bukankah anda masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lewat saya lihat anda punya dua helai baju baru!”
Jawab Abu Dzar: “Wahai putera saudaraku! Kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya daripadaku!” Kata kawan itu pula: “Demi Allah! Anda juga membutuhkannya!” Menjawablah Abu Dzar: “Ampunilah ya Allah . . .! Kamu terlalu membesarkan dunia! Tidakkah kamu lihat burdah yang saya pakai ini? Dan saya punya satu lagi untuk shalat Jum’at. saya punya seekor kambing untuk diperah susunya, dan -seekor keledai untuk ditunggangi! Ni’mat apa lagi yang lebih besar dari yang kita miliki ini …T’
Pada suatu’hari ia duduk menyampaikan sebuah Hadits, katanya:
“Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh perkara: Disuruhnya aku agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka. Disuruhnya aku melihat kepada orang yang di bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku . . . . Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada orang lain …. Disuruhnya aku agar menghubungkan tali shilaturahmi …. Disuruhnya aku mengatakan yang haq walaupun pahit . . . . Disuruhnya aku agar dalam menjalankan Agama Allah, tidak takut celaan orang. Dan disuruhnya agar memperbanyak menyebut: “Las hauls walaa quwwata illaa billah ” ‘
Sungguh, ia hidup menjalani wasiat itu, dan ditempanya corak hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga ia pun menjadi hati nurani masyarakat dari ummat dan bangsanya. Berkata Imam Ali: “Tak seorang pun tinggal sekarang ini yang tidak memperdulikan celaan orang dalam menegakkan Agama Allah, kecuali Abu Dzar … ! “
Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta!
Untuk Menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar! Mengambil alih tanggung jawab untuk menyampaikan nasihat dan peringatan!
Mereka larang ia memberikan fatwa, tapi suaranya bertambah lantang, katanya kepada yang melarang itu:
“Demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya! Seandainya tuan-tuan menaruh pedang di atas pundakku, sedang menurut rasa hatiku masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar daripadanya, pastilah akan kusampaikan juga sebelum tuan-tuan menebas batang leherku … !”
Wahai …. kenapa Kaum Muslimin tak hendak mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu – – .! Seandainya mereka dengarkan, pastilah fitnah yang berkobar dan berlarut-larut; yang menjerumuskan pemerintah dan masyarakat Islam pada bahaya, padam dan mati dalam kandungan ….