“Aku tidak memerlukan dunia tuan-tuan . . ”
Demikianlah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar kepada Utsman setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung diskusi yang lama antara mereka. Dari pembicaraan dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya dari seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat Abu Dzar, Utsman menyadari sepenuhnya bahaya gerakan ini dan kekuatannya. Dari itu ia mengambil keputusan akan membatasi langkahnya, yaitu dengan menyuruh Abu Dzar tinggal di dekatnya di Madinah.
Keputusan itu disampaikan dan ditawarkan oleh khalifah secara lunak lembut dan bijaksana, katanya: “Tinggallah di sini di sampingku! Disediakan bagimu unta yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore!” “Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!”, ujar Abu Dzar.
Benar, ia tidak memerlukan dunia manusia karena ia termasuk golongan orang suci yang mencari kekayaan ruhani dan menjalani kehidupan untuk memberi dan bukan untuk menerima! Dimintanyalah kepada khalifah Utsman r.a. agar ia diberi idzin tinggal di Rabadzah, maka diperkenankannya.
Dalam hangat-hangatnya gerakan revolusi itu Abu Dzar tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya, dan meresapkan sampai ke tulang sum-sumnya nasihat yang diberikan oleh Nabi saw. agar tidak menggunakan senjata. Dan seolah-olah Rasulullah telah melihat semua yang ghaib; terutama mengenai Abu Dzar dan masa depannya, maka disampaikannyalah nasihat amat berharga itu.
Oleh sebab itu Abu Dzar tak hendak menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan fitnah, telah menggunakan ucapan dan da’wahnya untuk memenuhi keinginan dan siasat licik mereka. Pada suatu hari sewaktu ia sedang berada di Rabadzah, datanglah perutusan dari Kufah memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap khalifah. Maka disemburnya mereka dengan kata-kata tegas sebagai berikut:
“Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, tentulah saya dengar titahnya dan saya taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku . . .! “
“Dan seandainya ia menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku . . .!”
“Begitu pun jika ia meyuruhku pulang ke rumahku, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa -demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku … !”
Itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan sesuatu tujuan duniawi; dan karena itu Allah melimpahinya “pandangan tembus” hingga sekali lagi ia melihat bahaya dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata maka dijauhinya.
Sebagaimana ia telah melihat apa akibatnya bila ia membisu dan tidak buka suara yang tidak lain dari bahaya dan bencana, maka dihindarinya pula. Lalu ditariklah suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan benar dan kata-kata tegas, tanpa suatu keinginan pun yang mendorong atau akibat yang akan menghalanginya.