Dan jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggungÂjawabkan kelak di hadapan pengadilan Ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.
Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah keÂpadanya dulu. Maka dimasukkannya kembali pedang itu. ke dalam sarungnyanya, karena tiada sepantasnya ia akan mengacungÂkannya ke wajah seorang Muslim.
Dan tidak ada haq bagi seorang Mu’min untuk membunuh Mu min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja).
(Q.S. 4 an-Nisa:92).
Bukankah dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar? Orang yang memiliki kemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih tajam dan banyak hasilÂnya daripada pedang walau sepenuh bumi.
Maka dengan senjata kebenarannya ia akan pergi mendapatÂkan para pembesar, kaum hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayaÂkan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberiÂkan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adzab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombongÂan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keÂserakahan, kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya …!
Baiklah ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi Hakim di antaranya dengan mereka, dan Dialah sebaik-baik hakim!
Maka. pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar meÂrubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana dan tak satu daerah pun yang dilaluinya — bahkan walau baru namanya yang sampai ke sana — menimbulkan rasa takut dan ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Seandainya penggerak hidup sederhana ini hendak mengÂambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulangÂnya setiap waktu dan tempat, dan diulang-ulang Pula oleh para. pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan, ialah kalimat kalimat ini:
“Beritakanlah kepada Para penumpuk harta,yang menumpuk emas dan Perak,