Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

60 Sahabat Nabi : Abu Dzar Al Ghifari (Bagian 2)

20 Mei 2013   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:17 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggung­jawabkan kelak di hadapan pengadilan Ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.

Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke­padanya dulu. Maka dimasukkannya kembali pedang itu. ke dalam sarungnyanya, karena tiada sepantasnya ia akan mengacung­kannya ke wajah seorang Muslim.

Dan tidak ada haq bagi seorang Mu’min untuk membunuh Mu min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja).

(Q.S. 4 an-Nisa:92).

Bukankah dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar? Orang yang memiliki kemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih tajam dan banyak hasil­nya daripada pedang walau sepenuh bumi.

Maka dengan senjata kebenarannya ia akan pergi mendapat­kan para pembesar, kaum hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahaya­kan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberi­kan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adzab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombong­an diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan ke­serakahan, kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya …!

Baiklah ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi Hakim di antaranya dengan mereka, dan Dialah sebaik-baik hakim!

Maka. pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar me­rubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.

Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana dan tak satu daerah pun yang dilaluinya — bahkan walau baru namanya yang sampai ke sana — menimbulkan rasa takut dan ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.

Seandainya penggerak hidup sederhana ini hendak meng­ambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulang­nya setiap waktu dan tempat, dan diulang-ulang Pula oleh para. pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan, ialah kalimat­ kalimat ini:

“Beritakanlah kepada Para penumpuk harta,yang menumpuk emas dan Perak,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun