Mohon tunggu...
Prima Marsudi
Prima Marsudi Mohon Tunggu... Guru - Indahnya menua.

Wanita yang ingin jadi diri sendiri tetapi tidak bisa karena harus memikirkan orang-orang yang disayanginya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rindu Alam Puncak dan Terkuburnya Kenangan

25 Februari 2020   22:41 Diperbarui: 26 Februari 2020   10:39 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya masih berusia lima belas tahun ketika  pertama kali melewati restoran besar yang menjadi ikon Puncak pada saat itu. Dari dalam bus rombongan wisata kantor ayah saya saya memandang takjub ke arah resto tersebut sambil berharap suatu saat dapat merasakan makan di sana dan menikmati makanan di sana.

Selama bertahun tahun kemudian saya masih hanya bisa memandangi restoran besar tersebut.  Mobil mobil bagus terparkir di sekitar restoran. Orang orang kaya keluar masuk silih berganti makan sambil menikmati pemandangan.

Beberapa pengunjung tampak berfoto foto di sekitar tempat parkir yang memberikan pemandangan cantik lika liku kebun teh.

Ketika pada akhirnya saya mampu ke sana, saya telah berkarir dengan sangat baik.  Saya juga sudah berkeluarga.

Berkali kali saya sempat membawa ayah ibu saya menikamati makan siang dan makan malam di sana.  Kami  menyukai berbagai masakan di sana mulai dari aneka gurame hingga kambing guling. Anak-anak juga suka sekali dengan  aneka es  krim.

Bahkan ketika Rindu Alam 1 terlalu penuh, kami pindah ke Rindu Alam 2.  Di Rindu Alam 2 malah saya sempat melatih keberanian anak saya untuk bernyanyi di depan umum.

Saya juga kerap membawa rombongan kantor untuk menikmati makan malam sambil bernyanyi diiringi organ tunggal.  Keseruan seperti itu tak kan pernah bisa terulang lagi.

Beraneka restoran sejenis menjamur di sepanjang jalan raya Puncak.  Beberapa restoran kekinian mennggunakan beraneka konsep.   Rindu Alam kehilangan pengunjung muda, pengunjung milenial yang mungkin lebih menyukai konsep konsep modern.

Akhirnya di awal 2020, saya harus kehilangan restoran Rindu Alam. Puluhan atau mungkin ratusan kenangan terkubur bersama tutupnya Rindu Alam.  Pengurusan izin atau kontrak dengan pemerintah Jawa Barat telah habis.

Ayah saya telah lama pergi menghadap yang kuasa.  Masih terbayang pandangan bangganya ketika pertama kali saya mengajaknya makan siang di sana. Bukan hanya karena bisa makan siang di tempat bagus, namun juga bangga karena pada akhirnya anak gadis kesayangannya berhasil membawanya ke sana.

Pasangan hidup saya pun telah tiada.   Namun kenangan kami selama berada di sana tak terhitung.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun