Pendahuluan
Di era globalisasi yang semakin maju, salah satunya terhubung secara digital, dimana arus pertukaran budaya antar negara begitu cepat dan masif. Kemajuan teknologi informasi, terutama media sosial dan platform streaming digital, telah menghapus batas-batas geografis serta membuka akses luas terhadap budaya asing. Salah satu budaya asing yang saat ini sangat popular dikalangan anak muda Indonesia adalah budaya pop Korea Selatan.
Fenomena ini dikenal dengan istilah Hallyu atau Korean Wave, yaitu penyebaran budaya pop Korea Selatan ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia (Shim,2006). Sejak masa pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1993-1998), Korea Selatan telah merancangkan strategi untuk memasarkan budayanya secara global. Melalui slogan politik "Creation of the New Korea", pemerintah Korea saat itu ingin membentuk citra bangsa yang modern dan berdaya saing global. Kebijakan budaya pada masa Presiden Kim bertujuan membangun identitas budaya serta mendorong pertumbuhan industri budaya nasional, sehingga Kim Dae Jung ini dikenal sebagai "Presiden of Culture."
Di Indonesia, Korean Wave ini disambut sangat antusias oleh masyarakat, terutama kalangan remaja. Mulai dari K-Pop, K-Drama, fashion, kuliner, hingga kosmetik Korea, semua ini telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari. Namun, dibalik popularitasnya muncul juga kekhawatiran mengenai dampak negatif terhadap budaya lokal dan meningkatnya gaya hidup yang berlebihan.
Apresiasi Budaya Korea di Kalangan Generasi Muda Indonesia
Budaya pop Korea, terutama K-Pop dan drama Korea, telah menjadi hiburan terpapuler bagi para remaja di Indonesia. Musik yang enak didengar, visual yang menarik, dan alur cerita drama yang seru menjadi daya tarik tersendiri, sehingga banyak orang tertarik dengan budaya pop Korea. Menurut Amelia & Aprilia (2024), banyak remaja yang telah mempelajari bahasa Korea, meniru gaya berpakaian para idol Korea, serta mencoba makanan Korea karena tertarik pada kebudayaannya.
Selain sebagai hiburan, Budaya Korea juga memberikan motivasi dan semangat bagi para penggemarnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Menurut Kartikasari & Sudrajat (2022), pembelian album fisik bukan hanya kegiatan membeli, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras para idol dan hadiah untuk diri sendiri (self-reward). Album yang dibeli bisa menjadi bentuk dukungan, kedekatan emosional, bahkan menjadi sumber kebahagiaan bagi para penggemar.
Komersialisasi dan Budaya Konsumtif
Meskipun memiliki nilai apresiasi, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya pop Korea juga sangat erat dengan praktik komersialisasi. Budaya fandom dalam dunia K-Pop menciptakan ekosistem ekonomi yang sangat besar, dimana para penggemar membeli album, photocard, lightstick, hingga ikut pre-order produk dari Korea.
Menurut Kartikasari & Sudrajat (2022), banyak penggemar rela menabung selama berbulan-bulan untuk membeli album fisik. Album fisik dianggap lebih bernilai karena tidak hanya memuat musik, tetapi juga photobook, poster, dan merchandise eksklusif. Penggemar juga mengaku bahwa desain album, identitas agensi, dan photocard menjadi daya tarik utama yang mendorong pembelian.
Namun, tren ini juga menciptakan gaya hidup konsumtif yang mengarah pada perilaku hegemoni budaya. Banyak penggemar merasa bahwa budaya Korea telah menjadi bagian dari hidup mereka. Mereka mengadopsi gaya berpakaian, kebiasaan, bahkan membeli banyak produk yang digunaka idol mereka. Kebudayaan Korea bukan hanya dikonsumsi secara pasif melainkan telah menjadi simbol identitas dan gaya hidup.