Isu terbesar tentu soal biaya. Data publik IMD menunjukkan harga program eksekutif mereka:
- SGD 20.900 (sekitar Rp250 juta) untuk 6 hari High Performance Leadership di Singapura.
- CHF 9.500 (sekitar Rp170 juta) untuk 5 hari Advanced HPL di Gstaad.
- CHF 26.500 (sekitar Rp480 juta) untuk program sertifikasi coaching (10 bulan).
Itu baru biaya kursus. Belum termasuk tiket pesawat, akomodasi, per diem, serta biaya kelas bisnis yang biasanya dipakai direksi. Rute Jakarta--Zrich sendiri saja sudah bernilai belasan hingga puluhan juta rupiah per orang. Jika dihitung total, investasi untuk 36 orang jelas tidak kecil.
Sebaliknya, pelatihan di dalam negeri dengan mendatangkan faculty global plus fasilitator lokal umumnya bisa jauh lebih efisien. Misalnya, Prasmul-ELI, PPM, atau LM FEB UI bisa merancang program kustom sesuai tantangan BUMN, dengan biaya relatif lebih rendah. Sisa dana bisa dialihkan untuk memperluas jumlah peserta, sehingga manfaatnya lebih merata. Ini sejalan dengan arahan pemerintah untuk menekan belanja negara 2025 (Media Keuangan, 2025).
Apa Kelebihan On-site di Swiss?
Tentu, ada hal-hal yang sulit digantikan jika program tetap diadakan di Indonesia. Lausanne, tempat IMD berada, adalah salah satu kantong inovasi dunia. Kawasan itu dekat dengan EPFL Innovation Park yang menaungi ratusan startup teknologi, markas besar Nestl di Vevey, dan secara konsisten menempatkan Swiss di posisi #1 Global Innovation Index versi WIPO (WIPO, 2024).
Dengan berada langsung di ekosistem seperti ini, peserta bisa merasakan "auranya": kunjungan lapangan, jejaring lintas sektor, dan dorongan berinovasi yang lebih kuat. Selain itu, reputasi IMD sendiri memberi signaling effect ke mitra internasional, investor, atau regulator. Bagi sebagian BUMN, efek reputasi ini adalah bagian dari return on investment.
Bisakah Hasilnya Sama Jika Dilaksanakan di Indonesia?
Jawabannya: bisa mendekati, asal dirancang tepat. Misalnya:
- Kurikulum bisa disusun berbasis tantangan spesifik BUMN. IFC bahkan sudah punya toolkit kepemimpinan untuk BUMN yang bisa jadi acuan.
- Campuran faculty global dan lokal. Profesor internasional membawakan topik frontier (AI, stakeholder capitalism), sementara fasilitator lokal menjembatani konteks regulasi dan budaya kerja di Indonesia.
- Immersion domestik juga bisa berkelas dunia, misalnya lewat studi banding ke perusahaan Indonesia yang sudah go global, sesi virtual exchange dengan mitra Eropa/Asia, hingga proyek transformasi nyata di unit BUMN.
- Format blended learning: online, residensi singkat, ditambah coaching pascapelatihan. Format seperti ini juga sudah jadi standar di IMD (IMD Business School).
Memang ada keterbatasan pada sisi jejaring fisik dan gengsi, tapi dari sisi transfer keterampilan dan dampak bisnis, program di Indonesia bisa setara---bahkan lebih relevan konteks dan hemat biaya.
Jalan Tengah dan Rekomendasi
Daripada mempertentangkan, mungkin jalan tengah lebih bijak. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan:
- Model hibrida: pelatihan dimulai daring, lalu residensi singkat di Singapura (lebih dekat dan lebih murah), kemudian ditutup dengan proyek implementasi di Jakarta.
- Kolaborasi internasional-lokal: IMD bekerja sama dengan LM FEB UI, PPM, atau Prasmul-ELI, sehingga ada transfer pengetahuan jangka panjang ke lembaga domestik.
- Transparansi biaya & ROI: publik perlu tahu berapa biaya per peserta dan apa dampaknya, misalnya penghematan operasional atau perbaikan layanan dalam 6--12 bulan pasca pelatihan.
- Multiplying effect: setiap direksi wajib membagikan ilmu ke minimal 10--20 manajer di bawahnya, agar manfaat tidak berhenti di 36 orang.
- Evaluasi independen: hasil program dievaluasi dengan scorecard berbasis IFC toolkit dan benchmark industri agar tidak sekadar jadi seremoni.