Dalam dekade terakhir, dunia menyaksikan kebangkitan kebijakan ekonomi yang berfokus pada kepentingan nasional dan proteksionisme. Fenomena ini semakin mencolok ketika negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok terlibat dalam perang dagang yang bermuatan politis dan strategis. Globalisasi yang seharusnya mendorong keterbukaan ekonomi justru memunculkan kecenderungan untuk menutup diri demi melindungi industri domestik dan daya saing nasional. Kondisi ini memunculkan kembali relevansi paradigma lama dalam ekonomi yakni merkantilisme.
Merkantilisme berkembang pesat di Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18. Aliran ini meyakini bahwa untuk memperkuat kekuasaan negara, diperlukan dominasi atas perdagangan global melalui surplus ekspor, kolonisasi, serta perlindungan industri dalam negeri. Artikel ini bertujuan untuk mengulas kembali akar sejarah merkantilisme, prinsip dasarnya, dampak yang ditimbulkan, serta bagaimana ideologi ini tetap relevan dalam kebijakan ekonomi global saat ini. Dalam kondisi ketegangan geopolitik yang meningkat, praktik merkantilis modern tidak dapat dipandang sebagai teori kuno yang sudah usang. Sebaliknya, kebijakan ini muncul kembali dalam bentuk yang lebih agresif dan strategis terutama dalam bentuk perang dagang, nasionalisme ekonomi, dan intervensi negara terhadap pasar global.
History of Mercantilism: A Doctrine Born from Rivalry
Merkantilisme lahir pada abad ke-16, ketika konsep negara-bangsa mulai mengemuka di Eropa seiring dengan runtuhnya sistem feodal. Dalam konteks saat itu, dunia dipandang sebagai arena dengan sumber daya yang terbatas. Kekayaan diukur melalui akumulasi emas dan perak yang menjadi indikator utama kekuatan suatu negara. Untuk memperkuat posisi mereka di kancah internasional, negara seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol mengembangkan sistem perdagangan yang ketat dimana mereka akan memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor. Kolonialisme menjadi instrumen utama dari praktik merkantilisme. Melalui penguasaan atas wilayah jajahan, negara induk mengekstraksi bahan mentah yang kemudian mengolahnya di dalam negeri dan mengekspor produk jadi ke koloni. Aktivitas tersebut menciptakan ketergantungan ekonomi yang sistematis. Sistem ini tidak hanya soal ekonomi melainkan juga ekspresi dari persaingan politik dan kekuasaan antarnegara. Meski akar pemikirannya muncul sejak dulu, semangat merkantilisme belum sepenuhnya hilang dari panggung kebijakan global. Praktik ekonomi nasionalistik seperti proteksionisme, subsidi industri domestik, dan kontrol ekspor strategis kembali mendapatkan tempat dalam berbagai kebijakan di negara maju hingga yang masih berkembang.
Core Logic of Mercantilism: Zero-Sum Thinking & Relative Gains
Logika utama merkantilisme adalah jika satu negara memperoleh keuntungan, maka negara lain secara otomatis mengalami kerugian. Sebuah kerangka berpikir ini dikenal sebagai zero-sum game. Negara-negara merkantilis sangat menekankan pentingnya keuntungan relatif, yakni tidak hanya seberapa besar keuntungan yang diperoleh, tetapi seberapa besar keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan negara pesaing. Inilah yang menjadi dasar bagi praktik ekonomi yang agresif dan eksklusif demi mengamankan sumber daya ekonomi dan pengaruh politik global. Logika zero sum memberikan legitimasi bagi negara untuk menggunakan segala cara dalam mengejar kepentingan nasional. Bahkan jika itu berarti melakukan penjajahan  atau memonopoli pasar melalui kekuatan militer dan ekonomi.
Zero-sum yang mendasari merkantilisme memang memberikan keuntungan namun hanya dalam jangka pendek. Hal ini menjadi kurang relevan dalam dinamika hubungan internasional kontemporer karena saat ini dunia semakin terhubung dalam jaringan kerja sama multilateral yang saling bergantung. Integrasi regional dan kesepakatan perdagangan bebas menandakan pergeseran menuju paradigma win-win, yakni keberhasilan satu negara tidak harus datang dengan mengorbankan yang lain. Oleh karena itu, pemikiran yang terlalu fokus pada keuntungan sepihak justru dapat menciptakan ketegangan baru dan menghambat upaya pembangunan kolektif di era globalisasi.
The Dual Impact of Mercantilism: Protectionism vs. Innovation Suppression
Seperti teori ekonomi lainnya, merkantilisme memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Sistem ini memberikan keuntungan yang signifikan bagi negara yang mengadopsinya. Salah satu dampak positif merkantilisme adalah jaminan pasar dan perlindungan ekonomi bagi industri domestik. Merkantilisme mengimplementasikan kebijakan proteksionis yang mengurangi persaingan dari luar, sehingga memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk berkembang tanpa tekanan dari produk asing yang lebih murah. Hal ini juga meminimalkan risiko kerugian bagi produsen lokal dan mendorong pertumbuhan industri secara terkontrol sehingga menciptakan stabilitas ekonomi. Namun di sisi lain, kebijakan merkantilisme juga memiliki sejumlah dampak negatif. Penghambatan perdagangan bebas adalah salah satu dampak utama.
Negara yang menganut prinsip merkantilisme cenderung membatasi impor dan membuka celah bagi monopolistik dalam pasar internasional. Ini dapat merugikan negara-negara yang lebih kecil atau yang tidak memiliki kapasitas produksi yang cukup. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi menghambat inovasi local karena perusahaan tidak perlu bersaing dengan pesaing luar yang lebih inovatif atau lebih efisien. Secara lebih luas merkantilisme menciptakan ketimpangan antara pusat dan pinggiran. Negara dengan industri maju menghisap sumber daya dari koloni atau negara yang lebih lemah. Ketika koloni mulai berkembang dan lebih kompleks, kebijakan merkantilisme justru menjadi beban yang semakin sulit diterima. Koloni yang awalnya dipandang sebagai sumber daya kini lebih mandiri dan berpotensi untuk berperan dalam perdagangan global, yang pada akhirnya menciptakan ketegangan antara negara induk dan jajahannya.
      Pada dekade terakhir, dua kekuatan ekonomi dunia yakni Amerika Serikat dan Tiongkok mengadopsi kebijakan perdagangan yang mencerminkan semangat merkantilisme modern. Pemerintah AS khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, kembali menegaskan pendekatan proteksionis melalui pemberlakuan tarif universal dan resiprokal. Mulai 5 April 2025, AS menetapkan tarif impor universal sebesar 10% terhadap semua negara mitra dagang. Lebih jauh, negara yang dianggap menerapkan hambatan dagang terhadap produk AS dikenai tarif lebih tinggi. Indonesia misalnya yang dikenai tarif hingga 32% sejak 9 April 2025 sebagai balasan atas kebijakan perdagangan yang dinilai tidak seimbang. Contoh lainnya yaitu Tiongkok dengan menerapkan kebijakan ambisius seperti Made in China 2025. Langkah ini bertujuan untuk mendominasi sektor teknologi tinggi, serta memperketat kontrol ekspor bahan baku strategis seperti rare earth elements. Kedua negara ini tampaknya menggunakan instrumen perdagangan sebagai alat untuk memperkuat kepentingan nasional. Meskipun kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi, dapat dinilai bahwa dalam jangka panjang justru dapat memperburuk tensi geopolitik dan menghambat integrasi ekonomi global yang lebih inklusif.