Mohon tunggu...
Asyarifh
Asyarifh Mohon Tunggu... Konsultan - suka kopi

aktif menulis di www.kopisayamana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekilas Mohammad Jumhur Hidayat

31 Oktober 2011   11:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:14 8278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_140664" align="alignleft" width="150" caption="Moh Jumhur Hidayat Mantan Aktivis Pergerakan Mahasiswa ITB Sekarang Kepala BNP2TKI"][/caption] (Disarikan dari Manuskrip Biografi Mohammad Jumhur Hidayat, "Tetaplah Menjadi Rajawali") MOHAMMAD Jumhur Hidayat lahir di Bandung, Jawa Barat pada Minggu 18 Februari 1968, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Mohammad Sobari Sumartadinata (almarhum) dan Ati Amiyati. Dua kakaknya, Endah Sulastiana dan Mohammad Imam Afandi, sedangkan adiknya bernama Mohammad Agung Anugerah. Pria yang sehari-hari gemar berbatik serta hobi bermain musik ini, menikah dalam usia 39 tahun dengan mempersunting runner up “Puteri Indonesia 2001”, Alia Febyani Prabandari. Perbedaan usia Jumhur dengan isterinya terpaut 12 tahun. Alia lahir di Jakarta pada Rabu 13 Februari 1980. Dari pernikahannya Jumhur dikaruniai dua orang anak yang masih tergolong kecil, masing-masing Ahmad Moqtav Hidayat menjelang usia 3 tahun (lahir 16 Desember 2007), dan Naeva Hilya Athahira yang kini baru sepuluh bulan (lahir 3 Desember 2010). Jumhur menikah di Jakarta pada 19 Januari 2007, sepekan setelah diangkat menjadi Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kepres No 02/2007 tertanggal 11 Januari 2007. Masa kecil Jumhur dilalui di lingkungan perumahan perusahaan perbankan nasional kawasan Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan. Semasa hidup, ayahnya seorang pejabat di Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia). Namun Jumhur lebih senang bermain dengan anak-anak ‘kampung’ di luar kompleks perumahannya, berikut kesukaannya bermain catur di pos ronda milik warga yang berbeda dari tempat tinggalnya. “Kulit saya menjadi hitam sekali dan bau karena sering bermain-main di got dengan teman sebaya luar kompleks. Sangat berbeda dengan kakak sendiri atau orang kompleks yang bersih dan wangi,” katanya tentang masa kecilnya. Ia juga dikenal dikenal sebagai anak pemberani, penuh perhatian pada orang lain, sekaligus dididik secara sederhana yang tetap melekat dalam kesederhaan hidupnya hingga saat ini. Mengomentari sosok Jumhur yang penuh nilai-nilai kepedulian sosial dan bersikap sederhana, seorang sahabatnya, Mochammad Fadjroel Rachman berkomentar, “Jumhur Hidayat merupakan pribadi yang menarik. Ia berangkat dengan latarbelakang sosial berkecukupan, pintar dan berprestasi, tapi justru hidupnya banyak sekali membantu orang lain,” ujarnya. “Tak ada secuil pun pakaian mahal pada diri Jumhur yang selalu berbatik itu,” tambah Fadjroel. Boleh jadi kesederhanaan begitu mengakar dalam jiwa Jumhur. Saat celana atau bajunya robek ia juga spontan menjahitnya sendiri. Memang, ke mana pun Jumhur pergi, kopernya tak pernah luput dari peralatan alat jahit seumpamabenang dan jarum, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menjahit (menyulam) pakaiannya jika kedapatan robek. Kesederhaan lain pada dirinya menyangkut soal makanan. Jumhur terbiasa menyantap indomie rebus, cireng (aci digoreng), atau bakso saat sedang berada di kantor. Jumhur mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri Menteng 02 Pagi Jakarta Pusat pada 1974-1980. Lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cikini, Jakarta Pusat sampai naik kelas dua, kemudian pindah ke SMP Negeri 1 Denpasar, Bali, mengikuti penugasan ayahnya ke daerah. Pada 1983 ia masuk diSMA Negeri 1 Denpasar, Bali, sebelum pindah lagi ke SMA 3 Bandung di kelas dua. Aktivis Mahasiswa ke Penjara Selepas dari SMA 3 Bandung, Jumhur masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mengambil jurusan Teknik Fisika pada 1986. Sejak tercatat mahasiswa tingkat pertama di ITB, Jumhur sudah telah berkali-kali ambil bagian dalam aksi unjuk rasa mahasiswa di kampus maupun aksi lain bersama mahasiswa di kota Bandung, utamanya terkait pembelaan hak-hak petani ataupun menentang penggusuran tanah rakyat seperti dalam kasus tanah Badega, Kacapiring, Cimacan, dan Kedung Ombo yang isunya menonjol pada 1988. Akibat berkali-kali menyelenggarakan aksi turun ke jalan, Jumhur merasa dirinya acap menjadi target aparat keamanan. Jumhur pertama kali dijadikan target penangkapan (tepatnya oleh aparat intelijen Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah/Bakorstanasda Jawa Barat) saat ia dan kawan-kawan mengadakan pergelaran musik menyambut tahun baru 1988, menghadirkan kalangan penyanyi rakyat yang diadakan di Lapangan Basket ITB, diikuti massa sekitar 10 ribu orang terdiri mahasiswa berbagai kampus di Bandung dan masyarakat luas. Pada acara bertajuk ”The Blue Night” itu, Jumhur menjadi pembawa acara namun kerap menggelorakan seruan-seruan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Selepas acara itu, beberapa hari lamanya Jumhur dan pihak penyelenggara dari ITB dicari aparat berwenang. Tapi Jumhur bersama lainnya urung ditangkap pada waktu itu. Penangkapan terhadap Jumhur terjadi dalam momentum peristiwa 5 Agustus 1989, yang juga melibatkan kawan-kawannya di antaranya Mochammad Fadjroel Rachman, Arnold Purba, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, dan Bambang Sugiyanto Lasijanto. Salah satu alasan mengapa ia ditangkap setelah menyelenggarakan aksi mahasiswa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini pada hari Sabtu pukul 13.00 WIB tanggal 5 Agustus 1989 di depan kampus ITB, karena memang telah berkali-kali melakukan aksi unjuk rasa. “Aparat keamanan mendapat momentum untuk menangkap saya. Jadi, saya lalui saja karena sudah menduga hal itu,” paparnya. Tentu saja, peristiwa 5 Agustus 1989 yang membuatnya dijebloskan ke penjara merupakan pemicu utama atas penangkapannya. Pada sisi lain, kasus pemecatan dirinya dan lima orang rekannya sesama mahasiswa ITB—dalam peristiwa 5 Agustus 1989--telah menjadi sejarah baru dalam pergerakan mahasiswa melawan penguasa, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. “Pemecatan saya dan kawan-kawan sebagai mahasiswa ITB itu sangat menyakitkan karena tidak fair,” tandas Jumhur, yang duduk di tahun ketiga saat dirinya dipecat. Mengenai penangkapan atau pemenjaraan yang dilaluinya tidak lah ia sesali sama sekali. Semua itu ia terima sebagai risiko perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Jumhur bersama rekan-rekan aktivis mahasiswa ITB pada hari Sabtu 5 Agustus 1989 menolak kehadiran Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Rudini di kampus Ganesha ITB untuk memberikan kuliah perdana pada kegiatan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) mahasiswa baru ITB. Saat itu, sejumlah mahasiswa menghadang Mendagri di depan Kampus ITB, karena dianggap bertanggungjawab membawahi pemerintah daerah yang berkolusi dengan pengusaha dalam menggusur tanah-tanah milik rakyat. Jumhur yang berperan komandan aksi lapangan berpidato mendramatisasi situasi dan memerintahkan pembakaran ban kepada para demonstran, selain berbagai poster berisi protes pada pemerintahan Orde Baru yang juga diusung mahasiswa hinga dengan sendirinya menambah aksi semakin panas. Tuntutan agar Orde Baru dibubarkan salah satunya disimbolkan dengan penolakan kedatangan Rudini ke kampus ITB, teriakan kecaman dengan menuntut Soeharto turun, Orba dibubarkan, termasuk menolak indoktrinasi P-4 ke dalam lembaga pendidikan seperti ITB. Namun, aksi yang bermula di Jalan Tamansari dan Jalan Ganesha depan Kampus ITB itu serta merta menjadi tidak terkendali setelah aparat keamanan bersenjata lengkap menghadapinya secara represif. Aparat tidak sekadar membubarkan paksa dengan pentungan, tetapi menempatkan panser berikut ratusan polisi tambahan, sehingga membuat kemarahan mahasiswa peserta aksi. Dampak aksi pun melebar ke berbagai lokasi di sekitar kampus ITB maupun kampus lain di kota Bandung, yang menjadikan aksi 5 Agustus 1989 mendapat dukungan dari berbagai kampus. Akibat peristiwa “Sabtu Kelabu” itu, 11 mahasiswa ITB ditangkap aparat TNI dari Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Barat dan dijebloskan di penjara militer Jalan Sumatra 37 Bandung selama hampir setahun tanpa pengacara dan tidak bisa dijenguk keluarga. Puluhan mahasiswa ITB lainnya dikenai skorsing 1-2 semester. Salah satu hal menarik yang perlu digambarkan secara khusus di sini adalah proses penangkapan terhadap Jumhur pada hari Senin 7 Agustus 1989 sekitar pukul 14.00 WIB di rumahnya di Jalan Babakan Jeruk I Nomor 6 Bandung. ”Anda lebih setia pada orangtua Jumhur atau setiap pada negara. Kalau setia pada negara, tangkap Jumhur Hidayat!” kata Jumhur menceritakan perintah Panglima Kodam III/Siliwangi selaku Ketua Bakorstanasda Mayjen TNI Arie Sudewo kepada Letkol Inf Syamsiar. Syamsiar yang juga paman Jumhur atau adik ipar ibunya, langsung menyatakan ”siappp...!” menjalankan perintah. Syamsiar saat itu menjabat Wakil Asisten Intelijen Kodam III/Siliwangi. Dalam situasi rumah yang sepi, karena kedua orangtua Jumhur sedang berada di Jakarta, Syamsiar mendatangi Jumhur yang sedang berada di kamar. ”E, mang, kumaha damang,” kata Jumhur mencoba menyapa sambil bangun dari tidurnya. Syamsiar sempat mengajak bicara keponakannya. Tak disangka, beberapa menit kemudian sejumlah prajurit TNI anak buah Syamsiar masuk ke kamar dalam kondisi siaga untuk membawa Jumhur ke tahanan militer di kantor Bakorstanasda Jawa Barat Jalan Sumatera 37 Bandung. Jumhur pun langsung diinterogasi oleh sejumlah aparat keamanan berwajah garang. Jumhur sempat dipukul di bagian leher belakang oleh petugas. Interogasinya penuh dengan ancaman yang berlangsung secara keras dan mencekam. ”Saya sempat disodori surat pernyataan untuk bersedia tidak bertemu lagi dengan orangtua bila terjadi apa-apa. Saya tidak mau menandatangani. Semakin saya diancam semakin keras sikap saya untuk melawan ketika itu,” tegas Jumhur. Jumhur tetap menyatakan aksinya merupakan spontanitas tetapi aparat tidak mempercayai. Aparat juga memberitahu bahwa rekannya, Arnold Purba alias Ucok, telah ditangkap pada hari itu pula sekitar pukul 17.00 WIB. Hingga pada Senin malam, Jumhur sempat diperlihatkan dengan Ucok sebentar, sebelum diinterogasi lagi secara maraton sampai keesokan harinya. Selanjutnya, interogasi berlangsung berkali-kali, diikuti penangkapan kawan-kawannya yang menjadi ’pelaku’ utama peristiwa 5 Agustus 1989. Sebelas mahasiswa yang ditangkap aparat dan dipecat dari ITB adalah Mohammad Jumhur Hidayat, Mochammad Fadjroel Rachman, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, Arnold Purba, Bambang SLN, Lendo Novo, A.Sobur, Wijaya Santosa, Adi SR, dan Dwito Hermanadi. Hampir setahun setelah peristiwa 5 Agustus 1989 itu, lima orang di antara mereka dibebaskan yakni Lendo Novo, Wijaya Santosa, A. Sobur, Adi SR, dan Dwito Hermanadi. Sementara Jumhur, Fadjroel, Enin, Arnold, Bambang, dan Amarsyah diadili dan dijatuhkan hukuman tiga tahun penjara potong masa tahanan. Selama persidangan, keenam aktivis mahasiswa ITB itu juga menjalani tahanan di Rumah Tahanan Kebonwaru, Bandung. Jumhur mulai diadili di Pengadilan Negeri Bandung pada hari Rabu 29 November 1989. Ia orang pertama yang diadili. Pada Kamis 8 Februari 1990, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung memvonis Jumhur Hidayat, Amarsyah, dan Bambang masing-masing tiga tahun penjara dipotong masa tahanan sementara. Majelis hakim menolak pledoi Jumhur yang diberi judul “Menggugat Rezim Anti-Demokrasi”. “Dalam pledoi yang tebal itu, saya bersama pengacara menyampaikan apa yang ada di kepala saat itu. Nggak ada lagi yang disensor,” kata Jumhur. Vonis terhadap Jumhur, Amarsyah, dan Bambang lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya menuntut hukuman atas para terdakwa itu dua tahun tiga bulan. Ketua majelis hakim Soegianto dalam amar putusan bagi Jumhur antara lain menyatakan, hal yang memberatkan terdakwa adalah tidak menunjukkan penyesalan dan perbuatannya bisa membahayakan stabilitas nasional. Sedangkan hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, masih muda, serta berlaku sopan dalam persidangan. Pada Kamis 15 Februari 1989,Mochamad Fadjroel Rachman dijatuhi hukuman penjara tiga tahun oleh majelis hakim yang diketuai Eko Wardoyo, SH di Pengadilan Negeri Bandung. Arnold Purba juga dijatuhi hukum tiga tahun.Pada Senin 19 Februari 1990, giliran Supriyanto alias Enin divonishukuman penjara tiga tahun dikurangi masa penahanan. Mereka mengajukan banding tetapi ternyata Pengadilan Tinggi Bandung pada persidangan majelis hakim yang terpisah, Sabtu 14 April 1990 dan hari Sabtu 21 April 1990 masing-masing diketuai Moenarso, SH dan L Rukmini, SH dalam putusan banding menguatkan vonis Pengadilan Negeri Bandung. Dengan putusan itu, Jumhur, Arnold, Fadjroel, Enin, dan Amarsyah tetap divonis tiga tahun sedangkan Bambang dihukum tiga tahun tiga bulan. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung oleh para mahasiswa itu juga menguatkan putusan pengadilan sebelumnya. Dinusakambangkan Jumat malam, 7 September 1990 tepat pukul 23.00 Wib saat langit kota Bandung beranjak gelap, sebuah mobil truk tahanan diberangkatkan dari penjara Kebonwaru, tanpa diberitahu tujuan yang jelas. Hanya ada pengawalan polisi bersenjata laras panjang, seorang supir, dan keenam terpidana mahasiswa ITB yaitu Mohammad Jumhur Hidayat, Arnold Purba alias Ucok bin Japhet Purba, Supriyanto alias Enin alias Cian Ning, Mochammad Fadjroel Rachman bin A Hisaini Suriansyah, Amarsyah, dan Bambang Sugianto Lasijanto bin Notodarmoto. Tak ada secuil barang ataupun pakaian lain yang dibawa, kecuali sebatas yang ada di badan keenam mahasiswa ITB pelaku peristiwa 5 Agustus 1989 itu. Sejak berangkat, suasana hati keenam mahasiswa ’naas’ itu berkecamuk tidak menentu. Segalanya serba galau, dihantui rasa takut teramat berat. Entah mau dikirim ke mana malam-malam yang mulai sunyi dan dingin itu. Bisa saja, pikir mereka dalam kekalutan, hidupnya akan segera berakhir di ujung laras senapan dengan mayat dibuang ke tengah hutan. Sebelum berangkat, Jumhur memimpin doa untuk keselamatan nasib dan atas kebenaran yang mereka perjuangkan. “Kita sudah memahami bagaimana cara kerja kapitalisme dengan kekuasaan otoriter. Malam ini adalah risiko perjuangan karena kita melawan itu semua. Jadi, ini adalah risiko perjuangan. Mari kita berdoa ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan untuk sebuah keyakinan yang kita perjuangkan,” kata Jumhur mengenang. Dalam perjalanan, Bambang Sugianto Lasijanto mengetahui dari balik mobil tersebut bahwa mereka melewati wilayah Nagrek, Garut, karenanya Jumhur dan kawan-kawan berkesimpulan akan dibawa ke penjara Nusakambangan. Keenam terpidana korban kesewenang-wenangan rezim Ore Baru itu terdiam dan keadaan di dalam mobil semakin senyap, kecuali senapan yang siap dikokang kepada mereka. Jumhur tak henti-henti bertanya dalam hati, mengapa harus dibawa ke Nusakambangan, tempat yang sebenarnya tidak pantas untuk dia dan kawan-kawan. Tapi pertanyaan itu seperti tak ada artinya sama sekali, hinggap sebentar dan terus-menerus mendatangi pikirannya, kemudian pergi ditelan angin serta kengerian malam di perjalanan. Dia pun menelan keheranannya secara getir. Selang beberapa saat ketika malam semakin pekat, para terpidana kembali dibuat terkejut. Mobil tahanan mendadak berhenti di tepi jalan pinggiran hutan, yang lokasinya diperkirakan perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah. Masing-masing mereka berusaha melongok ke luar jendela mobil yang dipatri jeruji besi itu, untuk mencari tahu mengapa mobil tiba-tiba dihentikan sang supir. “Jangan-jangan kami akan ditembak mati oleh petugas,” begitu perasaan terburuk yang bergulat di hati Jumhur dan kelima kawannya. Betapa tidak, pikir Jumhur, hegemoni rezim Orde Baru yang represif kala itu memungkinkan berbuat apa saja. Alasan bisa direkayasa seolah-olah para terpidana berusaha kabur dan petugas terpaksa “melumpuhkan”–istilah halus untuk menembak mati di tengah hutan. Dan dengan tangan terus terborgol erat mereka berusaha menenangkan diri walaupun kegelisahan semakin memuncak. Jumhur kembali menegaskan kepada rekan-rekannya bahwa sebagai aktivis pergerakan harus menerima risiko terburuk apa pun. Namun tak berapa lama, perasaan buruk di benak mereka menjadi sirna. Dari Bambang, mereka akhirnya mengetahui truk sempat berhenti karena sopirnya ‘kebelet’ buang air kecil. Jumhur sempat tersenyum dibalut perasaannya yang pahit. Mobil lalu melanjutkan perjalanan sampai di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, persisnya Sabtu selepas shubuh. Dalam perjalanan pun ternyata tak terjadi apa-apa. Mereka merasa lega bebas dari ketakutan yang melekat hingga ke pembuluh darah itu. Dan selama perjalanan Jumhur sempat diberi makan sekadarnya dalam posisi tangan tetap terborgol. Ia pun melakukan shalat di mobil tahanan itu dengan tangan terborgol. Di Nusakambangan, yang dikenal sebagai “hotel prodeo” dengan pengamanan paling maksimum (Super Maximum Security) di tanah air, para terpidana aktivis mahasiswa ITB satu-persatu dimasukkan ke sel yang berbeda. Setelah itu rasa was-was yang baru mulai menghinggapi pikiran mereka karena berbagai kemungkinan terburuk di penjara Nusakambangan bisa terjadi sewaktu-waktu, seperti pembunuhan oleh narapidana lain yang umumnya terdiri para penjahat kelas kakap, padahal sisa hukuman yang harus mereka jalani masih cukup lama. Hal itu pula yang membuat hati Jumhur berang tidak karuan. Tempat ini, ujarnya dalam hati, sangat tidak pantas bagi mereka dan hanya penguasa ‘keterlaluan’ saja membiarkan aktivis mahasiswa dijebloskan ke Nusakambangan. Toh, uniknya, sejumlah aparat keamanan yang mengawal mereka ternyata ikut sedih, tak tega menyaksikan penusakambangan keenam mahasiswa yang tidak patut itu. Tapi, kesedihan itu tak ada artinya setelah para petugas meninggalkan mereka. Jumhur menempati sel penjara Permisan yang paling ujung sekaligus terpencil, menjorok persis ke seberang lautan Samudera Indonesia yang mahaganas. Ia satu blok dengan Amarsyah meski di sel terpisah. Jumhur mendekam sendiri dalam sel yang bau apek berukuran sekitar 4X6 meter persegi, dirangka tembok tinggi yang amat kokoh dan dibatasi oleh dua pintu pagar yang dikunci rantai besar. Jumhur tidur beralaskan semen pekat kemudian untuk keperluan mandi atau buang air. Jumhur harus melewati jeruji pagar pertama yang terkunci itu, karena letaknya di kamar sebelah. Sementara Fajroel, Enin, Bambang, serta Arnold Purba (Ucok) menempati sel penjara Kembang Kuning dan sel penjara Besi, yang kurang lebih sama keadaannya. Selama beberapa hari di Nusakambangan, Jumhur menghabiskan waktu dengan membaca buku Biografi Inggit Garnasih, ”Kuantar Kau Ke Gerbang” karya Ramadhan KH yang dia pinjam dari sesama penghuni Nusakambangan, Bambang Isti Nugroho. ”Di malam hari, saya membaca buku itu dengan penerangan lampu sumbu yang saya pegang dengan tangan kiri dan saya dekatkan di bagian belakang kepala, sementara tangan kanan memegang buku yang saya baca,” kata Jumhur. Pernah suatu saat Jumhur ditanya oleh seorang tahanan residivis Nusakambangan, ”Berapa lama kamu kena hukuman.” Jumhur menjawab tiga tahun. ”Kalau cuma segitu, sih jemuran aja belum kering,” timpal sang penanya. Kontan Jumhur dibuat kaget. Tapi itulah, agaknya, suasana kehidupan penjara di Pulau Nusakambangan, yang hanya berlaku untuk mereka dengan kasus berat serta hukuman yang juga berat. Pikiran Jumhur tetap kacau-balau. Ia kembali meradang dan mengumpat bahwa penusakambangan dirinya bersama kawan-kawan sarat dengan penistaan kemanusiaan, selain di luar batas kepatutan untuk tahanan ’politik’ yang dialami mahasiswa. Jumhur menilai cara penusakambangan itu merupakan perbuatan tidak punya hati serta hanya pantas dilakukan oleh orang yang tak punya kehormatan alias tidak beradab. Segudang pertanyaan apa sesungguhnya yang mendasari hingga mereka dipaksakan ke Nusakambangan, terus menggelayut dalam pikiran Jumhur tanpa mengetahui sedikit pun jawabannya sampai saat ini. Penempatan Jumhur cs ke LP Nusakambangan juga merupakan sejarah baru dari serangkaian keganasan rezim Orde Baru yang berusaha menghanguskan gerakan mahasiswa. Perlakuan terhadap mereka yang disamakan dengan penjahat kelas kakap seperti residivis dan pembunuh sadis seolah pesan kepada kaum aktivis mahasiswa di Indonesia untuk tidak melawan pemerintah, sehingga bisa “dinusakambangkan” sebagaimana enam mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang telah dipecat dari almamaternya itu. Jumhur sendiri berusaha keras menyesuaikan dengan kondisi itu meskipun merasakan pemindahan mereka ke LP Nusakambangan terlalu berlebihan. Namun keberadaan mereka di LP Nusakambangan hanya berlangsung beberapa hari, tepatnya tiga malam empat hari. “Selama di Nusakambangan, tak ada yang bisa saya lakukan kecuali meringkuk di sel tahanan sambil membaca atau hanya merenungi ketidakpatutan penusakambangan saya dan kawan-kawan,” kata Jumhur seraya menghela napas. Semasa di Nusakambangan, Jumhur merasa mendapat hikmah yang unik. Suatu malam di dalam sel penjara yang bertembok tinggi dengan kunci grendel besi sebesar lingkaran jari dan hanya diberi lampu listrik berdaya 10 watt dan tergantung tinggi di langit-langit hingga pukul 22.00 WIB, untuk selanjutnya hingga pagi gelap gulita, ia mendengar suara tokek berkali-kali. Jumhur yang merasa takut luar biasa dengan bunyi tokek tidak bisa berbuat apa-apa, dan dengan sekuat tenaga berusaha menguasai dirinya mengatasi rasa takut yang amat kepalang. Tapi, setelah beberapa malam tidur di balik jeruji besi yang sempit serta kerap mendengar suara tokek, nyatanya binatang melata itu tak juga mau menggigitnya. Bahkan, menghampiri saja tidak. Ia menjadi sadar tokek memang tak pernah mengigit manusia. Sejak peristiwa itu, Jumhur tak lagi merasa takut pada binatang tokek. Dari Nusakambangan ke Sukamiskin Pada Selasa malam 11 September 1990, Jumhur cs sudah berada kembali di Bandung tetapi tidak dimasukkan ke Rumah Tahanan Kebonwaru, melainkan ke LP Sukamiskin untuk menjalani masa hukuman sampai akhir Februari 1992. Meskipun sangat dibatasi tembok dan jeruji besi pemisah dengan alam luar, penjara ternyata tak mematikan kreativitas Jumhur cs. Jumhur banyak menulis. Sejumlah tulisannya bahkan disiarkan oleh sebuah suratkabar di Bandung walau harus memakai nama samaran. Berbagai tulisan Jumhur bahkan dibukukan dengan judul “Surat-surat dari Penjara” dan ”Pikiran-pikiran dari Penjara” yang belum diterbitkan. Selama di penjara, Jumhur juga menulis berbagai puisi berjudul “Nurani”, “Untuk Aki Aleh”, “Surat untuk Ibu”,“Kepada Orang-Orang Bebas”, “Persaudaraan”, “Dekaplah Aku”, “Senyum Sang Penjaga”, “Khayalan Kebebasan”, dan “Sebuah Interogasi”. Jumhur juga rupanya sering menulis berbagai artikel yang disiarkan di berbagai suratkabar seperti Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, dan Harian Terbit.“Tentu saja dengan memakai nama samaran di antaranya AA Basya, dan lain-lain,” katanya. Honor tulisan tersebut ia pakai untuk makan sate bersama rekan-rekan di penjara. “Ada petugas yang dimintai tolong untuk membelikan sate. Honor satu tulisan di koran Pikiran Rakyat ketika itu Rp 60 ribu, sehingga bisa membeli banyak sekali sate,” ujar Jumhur, tersenyum. Lantaran cukup sering menulis artikel di suratkabar, isi dan gaya penulisannya yang cenderung berbau sosialis dan membela kepentingan rakyat tertindas, lagi-lagi aktivitas Jumhur tercium aparat keamanan. Redaktur Pelaksana Pikiran Rakyat Muhammad Ridlo Eisy, misalnya, sempat ditanyai aparat keamanan tentang siapa penulis artikel tersebut. Sejak itu artikel Jumhur dari penjara tak pernah muncul di suratkabar. Selama mendekam di LP Sukamiskin pula, Jumhur dan kelima aktivis mahasiswa ITB sempat mendirikan grup band ”Orziza” yang dikomandaninya. Kegiatan lain Jumhur di LP Sukamiskan adalah memceri ceramah kepada para narapidana lain yang kemudian dihentikan oleh petugas LP. Keluar dari Penjara Pada 25 Februari 1992, Jumhur cs menghirup udara bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Untuk beberapa lama Jumhur tak beraktivitas ”tetap” sampai akhirnya diajak Adi Sasono aktif di CIDES (Center for Information and Development Studies) pada awal 1993, sebuah lembaga pusat kajian pembangunan yang dibidani tokoh-tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Jumhur dipercaya menggerakkan CIDES sebagai direktur eksekutifnya dengan Adi Sasono sebagai Ketua Dewan Direktur CIDES. Dan saat di CIDES Jumhur kembali kuliah di Teknik Fisika Universitas Nasional (Unas) Jakarta serta menamatkannya pada 1996. Jumhur berada di CIDES sejak 1993-1999. Sebagai direktur pelaksana CIDES, Jumhur berupaya menjadikan lembaga itu bukan hanya eksklusif ‘milik’ ICMI, melainkan dengan mengembangkan terobosan kepada agenda lintas agama, aliran politik, maupun dimensi penguatan hak-hak rakyat (pro rakyat) sehingga CIDES bisa diterima khalayak luas. Keberhasilan CIDES yang dipimpinnya juga ditandai dengan melaksanakan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat kecil, sebagai bagian upaya menjalankan konsep ekonomi kerakyatan. Hal ini tak lepas dari prinsip Jumhur bahwa CIDESharus menjadi jembatan masyarakat dan pemerintah. Artinya, CIDES berdiri di antara keduanya sehingga lembaga itu tampil lebih jernih dalam melihat persoalan yang berkembang di masyarakat. Juga bisa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Pada akhirnya, Jumhur diakui telah menjadikan CIDES sebagai lembaga kajian kebijakan publik yang kokoh. Berbagai kegiatan kajian mengenai kebijakan publik dilakukan baik pada tingkat lokal, nasional, dan internasional, termasuk penelitian serta penerbitan yang cukup intens dan beragam. Jumhur juga tak ingin seperti katak dalam tempurung. Di sela-sela waktu penuhnya menggerakkan CIDES, ia meluaskan kiprah dalam menyebarkan pemahaman demokrasi tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pentas internasional, seperti menjadipembicara tunggal yang memberikan gambaran ekonomi-politik Indonesia di hadapan para top eksekutif bisnis internasional yang memimpin regional office Asia Tenggara. Tema yang diusung pada acara itu adalah Guarding the Reform Agendato Build Indonesia Anew. Penyelengaranya IDDS Singapura (International Defense and Strategic Studies), Singapura, Desember 1998. Kemudian Jumhur menjadi pembicara tunggal memaparkan proses perubahan politik saat reformasi dan masa depan ekonomi-politik Indonesia kepada para top eksekutif perusahaan Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia seperti Freeport, Mobil Oil, Unocal 76 dan lain-lain. Acara ini diselenggarakan oleh The United States-Indonesia Society, Washington DC, Februari 1999. Jumhur pun tak segan mengikuti kursus dan pelatihan, di antaranya To Win the Party Through Democratic Principles yang dihadiri oleh sekitar delapan negara ASEAN (Associations Southeast Asian Nations)di Manila, September 1996. Penyelenggaranya Friedrich Naumann Stiftung. Kemudian, Strategy for Development Alternatives yang dihadiri oleh 5 Negara ASEAN di Kuala Lumpur, Juni 1992. Pelatihan ini diselenggarakan oleh SEAFDA (Southeast Asian Forum for Development Alternatives). Selain itu menghadiri beberapa Regional Meeting, yakni Pertemuan Serantau antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang diadakan The Mastery of Science and Technology in The Context of Human Resources Development, Kuala Lumpur, 1996. Selanjutnya,Bilateral Conference on Enhancing Indonesia-Australia Relations, Jakarta, November 1996. Bilateral Conference on Indonesia-South Africa: New Beginnings and Future Relations, Capetown, South-africa, April 1996. Belum lagi keikutsertaanya pada International Conference on Methodological Problems in The Study of Religions, Montreal Canada, Februari 1997, danRegional Conference on Comparisons of Election System: Problems and Prospects yangdihadiri enam negara ASEAN di Bandung, Juli 1998. Juga, International Conference on The Future of Asia’s Cities yang dihadiri beberapa negara ASEAN dan India) di Jakarta, Desember 1996. Aktivitas Jumhur tak pelak mendapat perhatian negeri Paman Sam. Pemerintah Amerika Serikat mengundangnya selama sebulan pada 1999 untuk memperdalam pengetahuan tentang Amerika Serikat terutama sistem ketatanegaraannya. Selanjutnya, Pemerintah Hongkong juga mengundangnya seminggu pada 1998 untuk memperdalam pengetahuan mengenai Hongkong setelah bergabung dengan Republik Rakyat China. Di lain sisi, Jumhur pernah berjuang sebagai politisi dengan menjabat Sekretaris Jenderal/Pejabat Ketua Umum Partai Daulat Rakyat (PDR) untuk Pemilihan Umum 1999 dan Sekjen Partai Sarikat Indonesia (PSI) untuk Pemilu 2004. Satu pengalaman yang sangat menarik ketika mengurusi PDR yang tak berhasil merebut suara maksimal dalam Pemilu 1999, Jumhur menjadi orang terakhir yang mempertahankan PDR hingga akhir hayat partai itu (tidak boleh ikut Pemilu 2004 karena tidak melampaui electoral threshold pada Pemilu 1999, dan PDR tidak membentuk partai baru) dengan mengontrak kantor kecil sederhana di kawasan Lapangan Roos, Tebet, Jakarta Selatan. Kemudian ia menjadi Sekjen Partai Sarikat Indonesia (PSI) menjelang Pemilu 2004, dan Koordinator Nasional Koalisi Kerakyatan pendukung SBY-JK menjelang Pilpres (Pemilu Presiden) 2004, serta Koordinator Nasional Koalisi Kerakyatan II pendukung SBY-Boediono menjelang Pilpres 2009. Menggeluti Dunia Buruh Aktivitas Jumhur dalam dunia perburuhan dimulai dengan mendirikan Yayasan Kesejahteraan Pekerja Indonesia (YKPI) dan Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo) sekaligus menjadi ketua umumnya hingga kini. YKPI utamanya bergerak dalam bidang pemberdayaan buruh/pekerja. Di antaranya memberikan pelatihan kepada para buruh/pekerja serta membentuk serikat pekerja tingkat perusahaan di masa Orde Baru, yaitu suatu serikat pekerja yang tidak berafiliasi dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Jumhur juga pernah menjadi Ketua Bidang Buruh dan Ketenagakerjaan ICMI Pusat, serta Anggota Dewan Pakar ICMI. Selanjutnya, Jumhur menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Gapersi (Gabungan Persatuan Supir Indonesia). Organisasi ini merupakan ormas sektoral yang khusus memperdayakan para supir, seperti supir taksi, mikrolet, angkutan kota, metromini, bus dan sebagainya. Kegiatan yang dilakukan Gapersi di antaranya mengurangi pungutan-pungutan liar, pelatihan etika berkendaraan dan sebagainya. Gapersi juga memiliki perwakilan di daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Aktivitasnya yang bersinggungan dengan sektor informal terus meningkat ketika menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat APGKI (Asosiasi Pedagang Grosir Keliling Indonesia). Organisasi ini merupakan ormas sektoral tingkat nasional yang memiliki perwakilan di propinsi dan kabupaten/kota yang khusus memberdayakan para pedagang grosir keliling. Pedagang grosir keliling adalah mereka yang menghubungkan antara pedagang besar grosir (pusat grosir) dengan warung-warung atau toko-toko yang tersebar di lingkungan masyarakat. Pedagang grosir keliling membeli barang kepada pusat grosir dan menjualnya kembali kepada sekitar 10 sampai 15 warung atau toko di masyarakat. APGKI di antaranya memberikan pelatihan dan membantu penyaluran permodalan. Tak jauh berbeda, Jumhur juga menjadi anggota Dewan Penasehat APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia). Organisasi ini juga merupakan ormas sektoral tingkat nasional yang khusus menangani pedagang kaki lima. Di antara upaya pemberdayaan pedagang kaki lima oleh APKLI adalah pelatihan manajemen, penyaluran permodalan, pengadaan ruang usaha dan memberikan masukan kepada pemda-pemda setempat perihal tata ruang yang layak bagi kehidupan. APKLI memiliki perwakilan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Sementara keberadaaan Gaspermindo yang dipimpinnya terus mengawal upaya peningkatan posisi tawar pekerja, tak heran bila organisasi ini menjadi salah satu motor Aliansi Buruh Menggugat (ABM) yang sempat menggelar aksi unjuk rasa buruh menentang penjajahan bentuk baru dan menuntut Pemerintah membuat standar upah nasional, di depan Istana Negara. Aksi yang digelar sejak pukul 13.00 WIB pada 1 Mei 2006 itu—dalam rangka memperingati Mayday--diikuti kumpulan massa sebagian besar organisasi buruh yang tergabung di bawah ABM seperti KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), Gaspermindo, SPOI (Serikat Pekerja Metal Otomotif Indonesia), SBTPI (Serikat Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia), dan FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia), dan lain-lain. Para pengunjuk rasa yang sebagian besar menggunakan kaus ABM berwarna merah itu memulai aksi di Bunderan Hotel Indonesia sebelum kemudian berjalan beriringan menuju Istana Negara sambil melakukan orasi memprotes sejumlah kebijakan pemerintah. Program nasional pemerintah yang selama ini ditandai dengan ketergantungan pada utang luar negeri sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan seperti pencabutan subsidi listrik, BBM (Bahan Bakar Minyak), air dan politik upah murah dinilai ABM merupakan suatu cara untuk kemakmuran pemodal bukan rakyat. Karena itu politik upah murah disebut sebagai dagangan pemerintah nasional dari masa Orde Baru untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia, seakan-akan buruh Indonesia akan dengan rela hati menerima berapa pun upah yang diberikan asalkan bekerja. Komponen upah layak nasional menurut ABM berarti penentuan upah buruh tidak lagi sekedar membuat buruh hidup dan kembali bekerja layaknya seperti mesin, tetapi upah nasional harus dapat memanusiakan kaum buruh. ABM menilai akar pemiskinan kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia saat ini adalah akibat sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah nasional tidak berpihak kepada kaum buruh. Oleh karena itu ABM meminta kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia berjuang secara bersama-sama guna terbentuknya pemerintahan nasional, yang berani melakukan penghapusan utang luar negeri dan nasionalisasi terhadap sumber daya alam serta aset-aset vital Indonesia. Sehubungan dengan pemilihan presiden 8 Juli 2009, Jumhur terus memperjuangkan posisi tawar buruh di hadapan para calon presiden. Karenanya, Gaspermindo dan berbagai organisasi buruh menginginkan ada kontrak politik dengan calon presiden 2009-2014 untuk memastikan bahwa pemerintahan mendatang membela kepentingan buruh. Jangan sampai terulang seperti Pemilu 2004 tidak ada kontrak politik dengan calon presiden sehingga nasib buruh kurang diperhatikan. Jumhur dan pimpinan dari sekitar lebih 20 serikat pekerja dan organisasi buruh, pada 20 April 2009 di Jakarta, menyampaikan pernyataan sikap atas pelaksanaan Pemilu 2009. Dia menegaskan pemerintahan mendatang harus ramah terhadap gerakan perburuhan dan menyerap berbagai ide dan kepentingan buruh Indonesia. Jumhur mencontohkan kebijakan outsourcing tenaga kerja asing di Indonesia harus dibatasi. Agar tidak terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh, katanya, maka pemerintah perlu menambah besaran stimulus fiskal, lebih menggencarkan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, dan mendorong penempatan Tenaga Kerja Indonesia sektor formal. Sektor-sektor PNPM juga lebih dimasifkan agar cepat orang bekerja. Fenomena yang mengerikan sudah terjadi, yaknipengangguran bertambah banyak akibat krisis global. Maka pemerintahan mendatang harus dapat menanggulangi permasalahan itu. Jumhur mengimbau pemerintah juga segera menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan usaha kecil dan menengah untuk mengurangi pengangguran. Selain Gaspermindo yang menyampaikan pernyataan sikap, ikut pula Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo), Serikat Buruh Aspirasi Perjuangan Indonesia (SB-API), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI). Keberpihakan Jumhur pada masalah perburuhan dilandasi oleh kerisauannya bahwa nasib buruh dari rezim ke rezim tidak bertambah baik. Bahkan, semakin kemari nasib buruh semakin terpuruk. Pemerintah terkesan tidak berkutik bila menghadapi tekanan pengusaha dan ancaman hengkangnya investor asing bila pemerintah membela perbaikan nasib pekerja. Bukan tidak mungkin, bila pemerintahan hasil Pemilu 2009 tidak berpihak pada buruh, kondisi perburuhan nasional berada di tubir jurang. Menghadapi hal tersebut, Jumhur menyadari semua elemen perburuhan perlu kerja keras, bersatu padu memperjuangkan nasib buruh ke arah yang lebih baik. Bagaimanapun juga, buruh adalah aset nasional, bagian anak bangsa yang mesti diperhatikan kesejahteraannya. Jumhur meminta pengusaha jangan menganggap buruh sebagai sekrup dari mesin produksi, habis manis sepah dibuang. Politik perburuhan yang tidak pro-buruh, menurut Jumhur, berkaitan dengan menggejalanya demokrasi liberal yang merambah ke semua sektor, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Padahal sejak awal pembentukan Indonesia sebagai negara moderen, tidaklah pernah ada keinginan menerapkan pemikiran demokrasi yang liberal. Terlebih lagi, rasa penderitaan yang dialami bangsa Indonesia selama ratusan tahun adalah akibat berkembangnya paham liberalisme di Eropa dan Amerika Serikat. Demokrasi liberal yang tidak lain adalah demokrasinya kaum borjuasi telah memisahkan secara nyata antara kehidupan politik, ekonomi dan aspek-aspek sosial lainnya, sehingga dengan menerapkan demokrasi liberal itu, telah terbukti membawa malapetaka pada sebagian besar masyarakatnya. Demikianlah keadaan yang terjadi di Eropa pada masa-masa awal pertumbuhan demokrasinya. Demokrasi liberal ini adalah suatu demokrasi yang bersendikan paham individualisme, yaitu paham yang mengutamakan kepentingan pribadi dalam cara bermasyarakatnya. Karena itu, kaum nasionalis kerakyatan haruslah meninggalkan jauh-jauh sistem demokrasi liberal ini. Sebaliknya, yang harus kita bangun adalah suatu sistem demokrasi yang dengan seluas-luasnya memberikan dorongan penuh kepada rakyat untuk dapat mengembangkan kegiatan ekonomi dan berbagai kegiatan sosial lainnya di samping kegiatan politik. Menurut Jumhur, sistem demokrasi yang harus kita terapkan adalah demokrasi dalam bidang politik, demokrasi dalam bidang ekonomi serta demokrasi dalam bidang-bidang sosial lainnya secara sekaligus, tanpa dipisah-pisahkan. Sistem demokrasi inilah yang kita sebut dengan demokrasi sosial. Dengan penerapan sistem ini, maka kesejahteraan rakyat akan mengiringi kebebasan politik. Bukan sebaliknya, kebebasan politik meninggalkan kesejahteraan rakyat jauh di belakang seperti sekarang ini. Penerapan demokrasi sosial dalam bidang ekonomi yaitu dengan cara meningkatkan peran pemerintah sehingga lebih efektif dalam mengatur alokasi sumberdaya ekonomi. Terlebih lagi, keadaan ekonomi bangsa kita saat ini sangat timpang, baik itu ketimpangan yang bersifat regional, sektoral, desa-kota dan kaya-miskin. Kaum nasionalis-kerakyatan harus berkeyakinan bahwa tidak pernah ada dalam sejarah eknomi bangsa-bangsa di dunia, pemberdayaan rakyat dapat terjadi hanya dengan menyandarkan pada mekanisme pasar bebas semata. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah berupa krisis yang bersifat periodik yang pada akhirnya juga mengundang intervensi pemerintah. Apabila dalam demokrasi liberal kehidupannya bersendikan paham individualisme, maka dalam demokrasi sosial bersendikan paham kolektivisme atau kebersamaan. Paham kolektivisme yang pernah dikemukakan Bung Hatta ini, sesungguhnya merupakan paham dasar dari masyarakat Indonesia. Karena itulah, paham kolektivisme harus juga mewarnai semua bidang kehidupan dan haruslah menganggap bahwa seluruh masyarakat Indonesia bagaikan satu tubuh. Apabila ada bagian-bagian tubuh tertentu sakit, maka kita harus berlomba-lomba menyembuhkannya. Apabila ada bagian-bagian tubuh tertentu tertinggal jauh di belakang, maka kita harus mendorongnya maju. Setiap ketertinggalan yang dirasakan masyarakat kita harus pula dirasakan sebagai ketertinggalan kita semua. Karena itu, kemajuan, kemandirian, dan kemartabatan harus dirasakan serentak oleh seluruh rakyat. Tidak dibenarkan, kata Jumhur, dalam paham kolektivisme kemajuan hanya dirasakan oleh segelintir orang, sementara sebagian besar yang lainnya hidup dalam keterbelakangan. Kata Jumhur, buruh harus dianggap sebagai bagian utuh dari tubuh bangsa ini. Memimpin BNP2TKI Pasang surut kehidupan Jumhur dan rekam jejaknya membuat dia dipercaya pemerintah memimpin sebuah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sebuah lembaga pemerintah nonkementerian yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tertanggal 8 September 2006. Keberadaan BNP2TKI itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Tugas barunya itu amat menarik dalam kehidupan pribadinya. Hari Kamis  12 Januari 2007 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengumumkan nama Moh Jumhur Hidayat sebagai Kepala BNP2TKI, tanggal 19 Januari 2007 atau seminggu kemudian, Jumhur menikah dengan Alia Febyani Prabandari, dan selang berikutnya, pada hari Senin 22 Januari 2007 Jumhur dilantik menjadi Kepala BNP2TKI oleh Erman Suparno berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tertanggal 11 Januari 2007 yang menunjuk Moh Jumhur Hidayatsebagai Kepala BNP2TKI. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun