Mohon tunggu...
Ticklas Babua Hodja
Ticklas Babua Hodja Mohon Tunggu... Konsultan - Petani/Buruh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Life is choise

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hantu Patriarki

4 Juni 2021   00:53 Diperbarui: 4 Juni 2021   10:33 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara teori pemahaman patriarki kerap kali di identikkan pada kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan dalam hal mendudukkan perkara keseteraan. Teorinya secara fundamental menjadi faktum komprehensif yang didasari pada pengetahuan kerdil yang menjadikan perempuan sebagai objek properti semata.

Pembuktian-pembuktian dapat dilihat dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bahkan agama sekaligus. Stigma negatif terhadap tuntutan egaliter yang dilakukan lewat gerakan perempuan menjadi salah satu contoh kongkrit yang sering terjadi di Indonesia bahkan dunia.

Dalam hal berdiskusi saja sering kali perempuan tidak sedikitpun diberikan ruang bahkan waktu untuk menyampaikan bobot bebet pokok pemikiran yang semestinya dibulatkan menjadi satu kesatuan dari sebuah kesimpulan diskusi.

Pertemuan seremonial adat pun sama, inkultur yang diterapkan ditengah-tengah kondisi sosiologis masyarakat seakan telah menjadi hal yang lumrah untuk dijadikan suatu alasan tertinggi agar dikunci kran pembicaraannya. Argumen ini hanya dari satu jalan dua pintu yakni segi budaya dan sosial. Belum lagi ketika argumentasi ini semakin diperjelas dari sisi ekonomi, politik dan agama.

Dalam kondisi sosial, persoalan ini semakin dipersulit ketika perempuan dalam hal ketidaksengajaan mengalami hal diluar etika masyarakat yakni dalam urusan seksualitas. Sanksi sosial terhadap persoalan ini seakan hanya berlaku pada perempuan. Sementara mereka lupa untuk menegur si laki-laki nya dalam urusan hal ihwal ini.

Setelah diperkosa pria, perempuan di perkosa lagi oleh masyarakat begitu tegas Nadya Karima Melati dalam membicarakan feminisme. Begini kira-kira argumentasi yang dibangun Nadya :

Bicara soal tubuh lagi, mengapa hantu-hantu perempuan membalas dendam ketika dia telah menjadi hantu ? Mengapa ia tidak meluapkan kemarahannya ketika ia masih menjadi manusia ? Ini yang lagi-lagi menjadi perhatian bagi cara pandang masyarakat kita yang misoginis dan selalu menyalahkan perempuan dalam setiap ketidakadilan yang mereka alami. Kuntilanak misalnya, baru bisa membalas dendam ketika sudah menjadi hantu dan meninggalkan tubuhnya. Karena setelah diperkosa oleh pria, perempuan diperkosa lagi oleh masyarakat. Sedikit sekali korban perkosaan yang berani melapor atas tindakan kriminal ( perkosaan ) yang terjadi kepadanya.

Perkosaan adalah bentuk kekerasan fisik dan perampasan harga diri. Jika perempuan menjadi korban perkosaan, perempuan sering dianggap tidak mampu menjaga dirinya bahkan dianggap mengharapkan perkosaan itu terjadi. Sementara, masyarakat tidak pernah menyalahkan laki-laki pemerkosa untuk menjaga perilakunya. Walaupun perempuan adalah korban perkosaan tidak diperkosa sampai mati seperti kasus YY, hampir semua korban perkosaan yang saya kenal sudah terbunuh jiwa dan masa depannya.

Nasib sundal bolong ternyata tidak lebih baik. Kematian ibu (AKI) sebagai instrumen Millenium Development Goals (MDGs) masih terus tinggi di Indonesia. Walaupun paradigma pembangunan MDGs sudah beralih menjadi Sustainable Development Goals, tetap saja target angka penurunan kematian Ibu tidak pernah tercapai.

Nasib wewe gombel juga kurang lebih sama. Payudara sebagai sistem reproduksi dan seks termasuk tabu untuk dibicarakan. Apalagi, pendidikan seksual menyangkut pengetahuan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi (Sexual and Reproductive Health and Rights) anak-anak muda masih jauh api dari panggang. Memasukkan pendidikan seksual ke dalam kurikulum masih di anggap sama dengan mengajarkan anak-anak muda untuk melakukan hubungan seksual. Imbasnya lagi-lagi perempuan. Kebodohan karena ketidaktahuan mengenali dan memahami tubuhnya menjebaknya pada kehamilan yang tidak diinginkan di usia sekolah. Jumlah kasus perempuan putus sekolah di Indonesia karena kehamilan juga tidak bisa dianggap sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun