Bab 1 -- Terasing, 1996
Kota kecil itu bernama Terasing. Nama yang aneh, seolah ditakdirkan untuk jadi tempat di mana banyak cerita tumbuh lalu menguap begitu saja. Jalan-jalannya sempit, rumah-rumah kayu berdiri rapat, dan sawah masih membentang di pinggir jalan raya. Tahun 1996, Terasing masih sibuk dengan hiruk-pikuk sekolah dasar negeri yang saling bersaing dalam lomba-lomba kecamatan.
Raya masih ingat benar hari itu. Ia mengenakan seragam putih-merah dengan pita merah muda yang diikat di rambutnya. Hari itu adalah lomba Murid Teladan se-Kecamatan Majukarya. Semua sekolah mengirimkan wakil terbaiknya. Raya dipilih oleh gurunya karena rajin, nilai bagus, dan dianggap mewakili semangat sekolah.
"Kamu sudah siap, Ray?" tanya Ibu sambil merapikan pita rambut.
"Siap, Bu... tapi deg-degan," jawab Raya lirih.
Ayah menepuk pundaknya, "Tenang saja. Menang atau tidak, kamu tetap juara buat kami."
Namun, hasilnya berbeda. Raya hanya masuk sepuluh besar. Piala itu jatuh ke tangan anak laki-laki dari SD lain---Pram.
"Lagi-lagi bukan aku," gumam Raya pada temannya.
Temannya menepuk bahunya. "Kamu aja udah keren bisa sepuluh besar. Aku mah nggak kepilih sama sekali."
Bab 2 -- Lomba Cerdas Cermat
Beberapa bulan kemudian, Raya kembali bertemu Pram di lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. Ruangan itu penuh teriakan semangat, peluit panitia, dan guru-guru yang sibuk memberi arahan. Raya duduk di meja tim sekolahnya, berhadapan dengan tim lain. Dan siapa lagi yang duduk di meja seberang? Pram.
"Hari ini kita harus menang, Ray," kata salah seorang temannya.
Raya mengangguk. "Kita sudah latihan, pasti bisa."
Namun, ketika lomba berjalan, Pram lagi-lagi tampil tenang, cepat, dan tepat. Saat bel berbunyi, timnya menang tipis.
"Kenapa selalu dia..." gumam Raya, menggigit bibir.