Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Konservasi Yes, Bisnis Yes! Tapi...

28 Juni 2017   00:51 Diperbarui: 28 Juni 2017   09:01 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Nasional Bali Barat [Foto:PesonaIndonesia.Travel]

Fenomena lapangan hingga kini adalah konservasi masih terfokus pada kawasan hutan. Seolah-olah kawasan di luar hutan tak ada mandat konservasi. Apakah pernah diperhatikan pengawasan plasma nutfah kawasan HTI ? Kemudian apakah plasma nutfah lokal juga pernah diperhatikan seperti kepunahan jenis domba garut dan ayam lokal ?

Fenomena lainnya hutan konservasi telah tidak dapat lagi menampung keanekaragaman hayati. Sebaran satwa liar yang telah melewati batas wilayah habitatnya. Banyak satwa liar monyet, harimau, gajah yang memasuki perkampungan warga. Kawasan konservasi seolah dipersepsikan kontra produktif dengan pembangunan.

Kawasan konservasi seperti hutan lindung merupakan kawasan strategis dimana ekosistem hutan yang masih utuh terjaga, baik itu oleh masyarakat adat maupun hutan di puncak gunung yang masih terjaga oleh tangan Tuhan.

Konservasi Kehati merupakan modal alam pembangunan bangsa lintas generasi. Upaya menjaga keberlanjutan harus terfokus pada yang masih tersisa dan masih utuh. Kita selama ini fokus memperbaiki yang rusak, sementara yang masih ada dan utuh ikut mengalami kerusakan juga. Jikalau konservasi masih dipertentangkan hingga kini, maka ada yang salah dalam konsepnya.

Keanekaragaman hayati ternyata berkorelasi dengan keanekeragaman budaya. Jika diperhatikan
Tarian Dayak merupakan tarian yang menggambarkan filosofi burung Enggang. Namun jika ditanya kepada masyarakat Dayak maka belum tentu mereka mengetahui betapa pentingnya burung tersebut dalam bagian ekosistem kehidupan.

Konservasi sesuai kesepakatan didefinisikan sebagai pengelolaan  keanekaragaman hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kualitas persediaannya, serta memelihara keanekaragaman serta meningkatkan nilai & fungsinya. Jikalau konservasi masih dipertentangkan hingga kini, maka ada yang salah dengan konsepnya. Mengubah mental menjadi masyarakat konservasi tidaklah mudah seperti membalik tangan.

Perubahan UU No.5/ Tahun 1990, seharusnya menjadi pondasi kerangka pikir berbagai UU lainnya seperti pertanahan, kehutanan, pesisir & pulau-pulau kecil, panas bumi, perkelapa-sawitan, perkebunan, minerba, pemerintah daerah. Bila ini diimplementasikan secara benar, maka akan dapat dilakukan penyelamatan keanekaragaman hayati. Kearifan lokal juga harus dikedepankan dalam perubahan peraturan perundangan nantinya.

Pendanaan kegiatan konservasi seharusnya memang dalam tanggungjawab pemerintah, namun juga dapat dicukupi sesuai koridor yang berasal dari pihak lain tanpa mengikat.

Rinekso yang kini memimpin Forentika (Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Kehutanan se-Indonesia ), menyatakan selalu siap untuk menjembatani draft konservasi versi KLHK maupun versi DPR, dalam penyiapan perubahan peraturan perundang-undangan pelestarian lingkungan.

Dedi 'Miing' Gumelar sempat mengemukakan pengalaman dan sumbang saran mengenai wisata konservasi. Seusai penugasan sebagai anggota DPR, Miing lebih menikmati kehidupan sebagai penjelajah eco-wisata bersama klub otomotif Land-Cruiser Indonesia.

Penikmat eco-wisata lebih mengutamakan kedekatan spiritualitas, dibandingkan hingar bingar kemewahan makanan hingga kerlap kerlip lokasi wisata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun