Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu...

Hingga Januari 2015, penggemar wedang kopi ini baru menulis 30 buku. Kini ia melanjutkan sekolah di Pascasarjana Unitomo Surabaya. Alasan utamanya kuliah S-2 adalah menghindari omelan istri.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menuhankan Ijazah

11 Februari 2015   17:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya kawan tamatan STM (kini SMK). Jabatannya kini setingkat kepala bagian. Dengan setengah berbisik, ia bilang bahwa banyak anak buahnya yang lulusan sarjana, bahkan strata dua. Gendeng mangan utis!

Sebenarnya, saya tidak terlalu terperanjat. Sebab, saya pernah mewawancari seorang pengusaha yang memiliki lebih dari 15 toko bahan bangunan di Mojokerto, Surabaya, dan Sidoarjo. Ia hanya sempat mengenyam pendidikan di kelas 2 SD saja. Saat ini ia memperbesar usahanya dengan mendirikan perusahaan jasa ekspedisi ke wilayah Indonesia Timur.

Persoalannya, di Indonesia ijazah itu dianggap sangat penting. Bahkan, ada yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi memperoleh ijazah instan hanya untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif.

Ada kisah lain tentang seorang bupati. Proses pencalonannya dulu dipersoalkan karena keaslian ijazah SMA-nya. Diduga ia tidak pernah sekolah di bangku SMA. Orang tersebut terlihat pandai. Bahkan, andai dibilang lulusan sarjana pun, pasti banyak yang percaya.

Dalam sebuah kesempatan seorang teman karibnya bertanya secara guyon, ”Sebenarnya, Anda itu tamatan SMA apa bukan sih?”

Apa jawab si bupati? ”Kalau saya tamat SMA, saya sudah jadi gubernur!”

Wakakak! Secara tidak langsung ia mengakui bukan tamatan SMA, tapi apalah artinya ijazah? Ia seolah ingin mengatakan bahwa apakah yang tidak tamat SMA lantas menjadi lebih bodoh dibandingkan yang tamat SMA? Ia juga seakan ingin menyampaikan bahwa tidak tamat SMA saja bisa jadi bupati, maka kalau tamat SMA, jabatan bupati itu rendah bagi dia.

Di Indonesia sebenarnya banyak orang pandai yang tidak mengenyam bangku pendidikan tinggi. Lha wong yang tidak tamat SMA saja bisa jadi menteri. Bagaimana halnya jika beliau tamat SMA? Bisa-bisa jadi bosnya menteri.

Namun, sungguh bukan karena itu lantas saya memutuskan sekolah lagi. Bukan karena ingin jadi menteri atau bosnya menteri. Saya merasa memimpin kader ibu-ibu PKK tingkat RT saja repotnya bukan main, apalagi jika memimpin sebuah negara kepulauan. Lebih repot lagi jika ada janda kembang di kepengurusan PKK tersebut. Sebuah kalimat tak bijak menyebutkan: Sepanas-panasnya api neraka, masih lebih panas godaan janda.

Sidoarjo, 11 Februari 2015

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun