Mohon tunggu...
Pranan Saputra
Pranan Saputra Mohon Tunggu... Freelance Graphic Designer -

Passionate with Graphic Design, Photography, and Videography. Wanna be VFX Specialist, then.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Identitas Virtual Sarana Swa-Destruksi

17 Mei 2016   09:38 Diperbarui: 17 Mei 2016   16:23 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melalui kedua pandangan Tovler dan Idi Subandy, penemuan teknologi baru (dalam hal ini sistem digital) tidak hanya merubah cara berkomunikasi, faktanya teknologi tersebut telah menciptakan konsep-konsep budaya baru yang menggantikan budaya-budaya lokal (etnocide), mengajarkan agama baru, teknokrasi, mekanisasi, birokrasi, dan globalisasi. Puncaknya, dia telah menciptakan realitas-realitas baru (paralel), peran-peran serta identitas yang bisa kita pilih secara acak (multitasking dan memfasilitasi alter ego) (Dida Ibrahim dalam http://dida99.blogspot.co.id/2009/08/kegilaan-virtual-perayaan-multi_9954.html, diakses pada Selasa, 05 April 2016 pukul 20.08 WIB).  Sedangkan, apabila dilihat dari konteks psikologi, dalam beberapa kasus identitas dalam cyber media menyebabkan distorsi/penyimpangan identitas, kerancuan psikologis, kevulgaran informasi terkait privasi, idealisme pengakuan diri yang kuat, dan beberapa kecenderungan yang mengarah ke hal negatif. Dalam interaksi tatap muka individu akan memahami gambaran identitas diri orang lain melalui gender, ras, pakaian, dan karakteristik non-verbal lainnya. Namun, dalam identitas virtual beberapa karakteristik ini sangat sulit dimunculkan, teknologi internet menawarkan fasilitas untuk menyembunyikan beberapa petunjuk atau karakteristik yang tidak ingin ditampilkan atau diketahui publik.

Di era media baru seperti sekarang, simulasi telah menggantikan “kenyataan”, dan tubuh serta subjektivitas manusia telah digantikan secara drastis oleh teknologi baru (Kellner, 2010: 413). Selain itu, setiap individu mulai meninggalkan “gurun yang nyata” untuk ekstase (di luar kesadaran diri) hiperrealitas dan ranah komputer, media, dan pengalaman teknologi yang baru. Gambaran ini dipertegas oleh Gibson dalam cerita pendeknya, Burning Chrome (1986) yang memberikan pandangan manusia dan teknologi terus bermusuhan dan manusia sendiri bermutasi secara dramatis. Ini diperlihatkan dengan banyaknya identitas virtual yang direka sedemikian rupa sesuai keinginan pribadi mengikuti kondisi social yang bergejolak. Misalnya, perubahan gaya hidup yang mengarah ke hedonis (life style modern) sebagai akibat informasi yang kian vulgar, perubahan psikis di mana individu lebih nyaman dengan identitasnya di dunia maya, beberapa individu juga meng-copy paste individu lain atau dirinya dalam beberapa identitas virtual, batas antara kebenaran dan kepalsuan semakin kabur, batasan antara borjuis dan proletar, batasan gender menjadi kabur, ambiguitas kebenaran informasi, dan siapa saja dapat melibatkan dirinya dalam debat intelektual di ranah politik. Tiap individu juga dapat dengan mudah melakukan tindakan flaming atau mengunggah konten yang bersifat menghasut, memprovokasi, atau menyerang norma yang berlaku (Thurllow dalam Nasrullah, 2014: 123).

Menurut Howard Rheingold seperti dikutip Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber (2014: 19), hubungan antar individu di dunia siber bukan sekadar hubungan “substanceless hallucination” semata, melainkan pada hubungan secara nyata, memiliki arti, dan juga bisa berdampak/berlanjut di kehidupan sesungguhnya. Ini menyebabkan batas antara identitas sesungguhnya dengan identitas virtual menjadi kabur dan kemudian menjadi pemicu terjadinya krisis identitas. Krisis identitas selanjutnya berpengaruh pada ketidakpastian target atau keinginan yang harus dicapai. Penetapan target keberhasilan diri atau pencapaian berdasarkan apa yang dilihat dari orang lain sehingga target bisa saja berubah tiap waktu. Kegilaan ini akan terus berlanjut karena khalayak memiliki otoritas dalam mengkonstruksi teks serta memanfaatkan medium. Selain itu, khalayak juga diberi keleluasaan untuk mentransformasikan dirinya untuk memanfaatkan khalayak lainnya.

Kesimpulan

Identitas sebagai salah satu perwujudan presentasi diri di cyber media, memiliki beberapa pandangan yang cukup kontradiktif. Bentuk presentasi diri melalui cyber media yang berakar dari interaksi tatap muka, dipandang bahwa interaksi melalui media sosial akan menghilangkan elemen non verbal komunikasi dan konteks terjadinya komunikasi sehingga presentasi diri tidak maksimal dan cenderung bias. Identitas virtual selain digunakan oleh individu juga digunakan oleh perusahaan. Beberapa kasus sebagai salah satu dampak negatif identitas virtual dalam lingkup perusahaan, misalnya menyalahgunakan nama perusahaan mengatasnamakan perusahaan ternama untuk melakukan penipuan dan tindak kejahatan lain.

Kegilaan identitas virtual dalam media siber memfasilitasi tiap individu untuk melampaui realitas, kodrat, representasi, makna, social, media, seksualitas, dan penerimaan teknologi (utopia), yang kemudian membawa umat manusia ke dalam sebuah panorama ekstrim (extremescene). Menurut Baudrillard seperti dikutip Yasraf A. Pilliang dalam Posrealitas (2004: 65), panorama ekstrem dimaknai sebagai sebuah kondisi yang di dalamnya sesuatu berkembang, bertumbuh, dan membiak tanpa kendali serta dengan kecepatan tinggi, sehingga melewati segala batas yang seharusnya tidak dilewati. Ketika mulai berada pada panorama ekstrem, khalayak tidak lagi memiliki fondasi yang kokoh, kemudian memasuki medan baru di mana khalayak berkembang melampaui batas, menyalahi logika, meninggalkan identitas, maka yang terjadi adalah proses perkembangan dan pertumbuhan yang paradoksal, yaitu pertumbuhan sekaligus penghancuran diri sendiri (swa destruksi/self destruction) yang disebabkan oleh tidak ada lagi penyangga (moral, etika, spiritual, social, kultural) yang menopang. Kondisi ini akan menggiring semuanya ke arah sebuah titik akhir bencana kehancuran atau yang disebut catastrophe. Oleh karena itu, beberapa gambaran di atas menjadi petuah bagi tiap individu untuk tetap bijak dalam menggunakan media siber, khususnya dalam tampilan identitas virtual di social media sehingga tidak menenggelamkan dirinya ke dalam proses yang paradoksal yang mengarah ke swa destruksi.

Daftar Pustaka

Burhan Bungin, 2006, Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

http://dida99.blogspot.co.id/2009/08/kegilaan-virtual-perayaan-multi_9954.html, diakses pada Selasa, 05 April 2016 pukul 20.08 WIB

http://kbbi.web.id/identitas, diakses pada Selasa, 05 April 2016 pukul 20.05 WIB

http://www.komunikasi.us/index.php/course/15-komunikasi-teknologi-dan-masyarakat/2678-cyber-space-cyber-culture

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun