Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hutan sebagai Kawasan dengan Tujuan Tertentu

12 Maret 2021   15:02 Diperbarui: 12 Maret 2021   15:06 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

HUTAN SEBAGAI KAWASAN DENGAN TUJUAN TERTENTU

Sudah lebih dari 2 (dua) dasawarsa, rimbawan Indonesia sangat mengenal istilah KHDTK sejak disahkannya undang-undang (UU) no. 41/1999 tentang kehutanan. 

KHDTK atau lebih dikenal dengan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus dapat ditemukan dalam pasal 8 yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut : 

Ayat (1) pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus. 

Ayat (2) penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, diperlukan untuk kepentingan umum seperti:  a) penelitian dan pengembangan;  b) pendidikan dan latihan; dan  c) religi dan budaya. 

Ayat (3) kawasan hutan dengan tujuan khusus ), tidak mengubah fungsi pokok, kawasan hutan.

KHDTK ini dirumuskan dan diatur lagi lebih rinci dan detil melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan no. P.15/2018. Pokok-pokok subtansi yang penting dalam peraturan menteri ini diantara adalah :

Pertama, KHDTK ditetapkan untuk kepentingan a) Litbang Kehutanan; b) Diklat Kehutanan; atau c) Religi dan Budaya setempat. Pelaksanaan kegiatan KHDTK litbang kehutanan meliputi kegiatan a) penelitian dasar; b) penelitian terapan; c) penelitian kebijakan; dan/atau d) pengembangan eksperimental. 

Pelaksanaan kegiatan KHDTK diklat kehutanan meliputi kegiatan a) diklat teknis kehutanan; dan/atau b) diklat fungsional kehutanan. Pelaksanaan kegiatan Religi dan Budaya setempat meliputi kegiatan yang menjaga, mempertahankan dan memelihara fungsi Religi dan Budaya sesuai dengan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat.

Kedua, penetapan KHDTK dapat dilakukan pada a) semua fungsi kawasan hutan kecuali pada cagar alam dan zona inti taman nasional; b) kawasan hutan yang telah dibebani hak pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang kehutanan; atau c) kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan, setelah dikeluarkan dari areal kerjanya.

Ketiga, penetapan KHDTK dilakukan dengan ketentuan luas a) pada areal KPH, paling banyak 5% (lima per seratus) dari luas setiap KPH; b) pada provinsi yang luas kawasan hutan di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi, paling luas 500 (lima ratus) hektar; c) pada provinsi yang luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi, paling luas 100 (seratus) hektar; dan d) untuk 1 (satu) unit KHDTK Religi dan Budaya, paling luas 10 (sepuluh) hektar.

Keempat, pemanfaatan hutan pada areal KHDTK hanya dilakukan oleh pengelola KHDTK untuk mewujudkan pengelolaan KHDTK yang mandiri dan dilakukan pada areal pemanfaatan KHDTK. Areal pemanfataan KHDTK ayat (2) paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari luas KHDTK. 

Pemanfaatan hutan  pada  hutan produksi berupa 1) pemanfaatan kawasan; 2) pemanfaaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan 3) pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam. Pemanfaatan pada hutan lindung berupa 1) pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam; dan 2) pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Penggunaan Kawasan Hutan

Yang mengejutkan adalah konsep kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) pada pasal 8 UU Kehutanan tidak diubah, ditambah, atau direvisi dalam UU Cipta Kerja. 

Bahkan tak masuk dalam Rancangan PP 23/2021. Tapi tiba-tiba muncul konsep KHDTK yang diubah menjadi kawasan hutan dengan tujuan tertentu, yang terdiri dari a) kawasan hutan dengan tujuan khusus; b) kawasan hutan dengan pengelolaan khusus; atau c) kawasan hutan untuk ketahanan pangan. 

Seharusnya penambahan pasal 8 dalam UU Kehutanan ini juga dicantumkan dalam UU Cipta Kerja dengan ketentuan lebih lanjut tentang kawasan hutan dengan tujuan tertentu diatur dalam PP 23/2021.

KHDTK menjadi bagian dari KHDTT (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Tertentu), disamping KHDPK (Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus) dan KHKP (Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan).

KHDPK

Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus  ditetapkan untuk kepentingan a) Perhutanan Sosial; b) Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan; c) Penggunaan Kawasan Hutan; d) Rehabilitasi Hutan; e) Perlindungan Hutan; atau f) Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 

Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.

Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus dilakukan dengan ketentuan a) tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan; b) tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi; dan c) penutupan Hutannya bukan berupa Hutan primer. Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus ditetapkan oleh Menteri.

KHKP

Penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) ditujukan untuk kegiatan penyediaan kawasan hutan guna pembangunan ketahanan pangan (food estate). Ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal dalam PP 23/2021 terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk KHKP, ada yang tidak sinkron dan terasa berseberangan antara satu dengan yang lain. Pasal pasal yang perlu dicermati tersebut antara lain adalah :

Pertama, penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. 

Penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di dalam a) kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung (pasal 69 dan 90).  Sementara dalam bab III perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan pasal 58 ayat (4) berbunyi: pelepasan kawasan hutan  untuk kegiatan antara lain pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan/latau kawasan hutan produksi tetap.

Pasal 58 dengan pasal 69 dan 90 saling bertentangan satu dengan yang lain. Disatu sisi, dalam hutan produksi (dapat dikonversi maupun tetap), untuk kegiatan food estate dapat dilakukan kegiatan pelepasan kawasan hutan  yang muaranya nanti dapat merubah status dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan (missal Hak Guna Usaha (HGU) seperti perkebunan), sementara disisi lain dalam KHDTT sebagai bagian dari penggunaan hutan tidak diperkenankan/diizinkan untuk mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 

Dalam Peraturan menteri LHK P.24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate yang diterbitkan 26 Oktober 2020 malah lebih membingungkan lagi karena hutan produksi yang boleh dilepaskan kawasan hutannya hanya hutan produksi yang dapat dikonversi. 

Mestinya anomali tentang food estate ini sudah tidak perlu terjadi dengan terbitnya PP 23/2021 ini, namun masih terdapat Peraturan Menteri yang akan mengatur tentang penggunaan kawasan hutan yang belum terbit sebagai pendukung PP 23/2021 yang barangkali akan mengatur lebih jelas tentang food estate ini.

Kedua, kegiatan food estate dalam hutan lindung yang dianggap kontroversial. Dalam bab.V, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, paragraf 2, pasal 129  dinyatakan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung meliputi antara lain adalah wana tani (agroforestry), wana mina (silvofishery) dan wana ternak (silvopasture). 

Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, b) pengolahan tanah terbatas, c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. 

Menurut Kepala Biro Humas KLHK, dalam pembangunan food estate pada kawasan hutan lindung (HL), syaratnya adalah sudah tidak sepenuhnya berfungsi berfungsi lindung, yaitu kawasan hutan lindung yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan. 

Kawasan HL yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung harapannya bisa dipulihkan dengan food estate. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan  (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak ( sylvopasture) atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan (sylvofishery). 

Tanaman hutan dengan ketiga pola kombinasi di atas akan berperan memperbaiki dan meningkatkan fungsi hutan lindung. Pembangunan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi (benih, pemumpukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain) dengan pola kerja hutan sosial.

Pernyataan Kepala Biro Humas KLHK ini tidak selaras dan sinkron serta tidak konsisten dengan pasal 129, bab V tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, kegiatan pemanfaatan kawasan hutan lindung pada PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan diatas. Intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Ketiga, dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung.

Jika menilik luas kawasan hutan Indonesia 125,2 juta hektare, luas kawasan hutan produksi bisa dibilang lebih dari cukup. Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79%. Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas ,dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Sementara luas hutan lindung yang hanya 29,5 juta hektare atau 23,56% saja. Kenapa hutan lindung mesti dikorbankan untuk food estate ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun