Mohon tunggu...
Prajna Dewi
Prajna Dewi Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang terus berjuang untuk menjadi pendidik

Humaniora, parenting, edukasi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Mencegah dan Mengatasi Anak Temper Tantrum

23 September 2022   12:15 Diperbarui: 24 September 2022   05:42 6852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak tantrum (Shutterstock)

“Mauuuuu !!!!!! Mau beliiii !!!! Aku Mauuuuuu !!!!!" Bobby berteriak menangis sambil guling-gulingan di lantai, tatapan pengunjung pusat perbelanjaan tidak menyurutkan ulahnya. 

Mery mulai serba salah, tatapan orang-orang membuatnya merasa malu dan gagal mendidik Bobby. 

“Ya sudah, kita beli…” Mery menyerah. Akhirnya Bobby kembali mendapatkan apa yang dia mau. 

Sudah sejak berusia dua tahun, sampai sekarang mendekati usia empat tahun, kebiasaan Bobby tidak berubah, bahkan makin menjadi-jadi. 

Ketika keinginannya ditolak, pasti dia akan merengek, dan jika tetap ditolak, rengekan berubah menjadi tangisan, teriakan kemarahan, bila perlu disertai aksi membanting diri ke lantai. Temper tantrumnya membuat Bobby tampil jadi pemenang.

Apa itu temper tantrum?

Temper tantrum, sebuah ledakan kemarahan sebagai wujud dari rasa frustrasi, adalah hal yang sangat mungkin terjadi pada anak balita, terutama pada rentang usia satu hingga empat tahun. Dapat berwujud rengekan, teriakan, menangis sambil mengamuk dan memukul, atau bahkan melemparkan diri ke lantai.

Artikel dari John Hopkins mengatakan bahwa temper tantrum merupakan cara anak kecil mengeluarkan emosi yang sangat kuat karena mereka belum paham cara mengungkapkannya dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Jadi sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang normal sebagai bagian dari perkembangan seorang anak.

Temper tantrum umum terjadi pada rentang usia satu hingga empat tahun, dan dapat berlangsung selama dua hingga lima belas menit.

Dengan semakin meningkatnya usia anak, seharusnya frekuensi dan tingkat kemarahannya semakin berkurang. Jika semakin bertambah, berkepanjangan dan bahkan ditambah perilaku menyakiti diri, orang tua perlu mencari lebih jauh apa yang terjadi dan melakukan penanganan yang serius.

Mengapa anak mengalami temper tantrum?

1. Rasa lelah dan tidak nyaman

Tingkat ketahanan anak menerima rasa lelah dan tidak nyaman tentunya masih rendah. Rasa haus, lapar, panas, mengantuk ataupun bosan dapat memicu ledakan emosi. 

Saat membawa anak ke tempat umum, pastikan kebutuhan fisiknya terpenuhi, pastikan bahwa dia tidak merasa jenuh dan bosan.

Saat Ibu terlalu asyik berbelanja, sedangkan anak sudah merasa lelah, mengantuk, juga lapar, dapat menjadi tantrum jika rengekan awalnya tidak ditanggapi.

(Sumber: Freepik.com)
(Sumber: Freepik.com)

2. Frustasi karena merasa tidak dipahami

Ketidakmampuan mengungkapkan apa yang dia inginkan karena keterbatasan kosa kata, dapat membuat anak merasa kesal dan frustasi. Keadaan ini dapat diperparah dengan temperamen bawaan anak sejak lahir.

Setiap anak walau lahir dari orang tua yang sama, diberikan perlakuan yang sama, dapat mempunyai temperamen yang berbeda. Ada bayi yang sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, bersabar jika kebutuhannya belum terpenuhi. 

Ada pula yang sulit menyesuaikan diri, dan langsung berteriak jika merasa tidak nyaman. Anak yang temperamental cenderung lebih mudah merasa frustasi.

3. Memaksakan kemauan

Anak yang selalu dituruti kemauannya, sangat rentan gejolak emosinya ketika mendapat penolakan. 

Awalnya ia mungkin hanya merengek menuntut permintaanya dipenuhi, lalu ditingkatkan menjadi menangis, dan mengamuk jika masih tidak dikabulkan.

Ketika orang tua menyerah mengikuti kemauannya, anak akan mencatat bahwa aksi yang ia lakukan membawa hasil. Kelak ia akan mengulanginya lagi ketika keinginannya ditolak. Bahkan bila perlu dengan intensitas yang makin meningkat. Ia mencatat bahwa luapan emosi dan kemarahannya sangat efektif membuatnya mendapatkan apa yang diinginkan.

4. Perbedaan penerapan disiplin

Setiap mengisi kegiatan parenting, saya selalu menekankan pada orang tua yang hadir akan pentingnya kesepakatan antara orang tua dan sekolah tentang disiplin dan aturan yang akan diterapkan pada anak.

Begitu pula dengan keluarga, antara mama dan papa, oma dan opa, pengasuh, serta segenap penghuni rumah perlu sepakat terkait disiplin dan aturan yang diterapkan.

Contoh, mama mengharuskan anak untuk sikat gigi sebelum tidur, demi kesehatan gigi anak. Sedangkan opa, sangat memanjakan cucu, ketika anak ketiduran, opa pasti menentang mama yang mau membangunkan untuk sikat gigi.

Ketika anak ketiduran dan dibangunkan untuk menyikat giginya, tentu ia akan menolak, bila perlu menangis meraung-raung karena tahu opanya akan membelanya.

Apa yang harus dilakukan ketika anak tantrum?

1. Alihkan perhatian

Tunjukkan sesuatu yang mungkin menarik perhatiannya, tawarkan kegiatan yang dia sukai. Jangan membiarkannya tetap fokus pada penyebab luapan emosinya. Langkah ini akan jauh lebih efektif jika dilakukan sebagai pencegahan.

Saat kita merasakan bahwa mulai ada peningkatan emosi pada anak, segera alihkan sebelum memuncak dan meledak menjadi kemarahan.

2. Pastikan dia aman

Jika tantrumnya di rumah, singkirkan benda yang mungkin dapat menimbulkan bahaya. Biarkan anak meluapkan emosinya sejenak. Seperti yang dijelaskan di atas, situasi ini akan berlangsung dalam rentang waktu dua sampai lima belas menit.

Jika terjadi di tempat umum, setelah memastikan bahwa dia aman, menyingkir darinya, namun pastikan bahwa ia dapat mengawasi kita, begitu pula sebaliknya. Dekati setelah emosinya mereda.

3. Tetap tenang

Ingatlah bahwa tantrum adalah hal wajar, sebagai salah satu tahapan perkembangan anak. Saat anak menunjukkan luasan emosi, orang tua harus tetap tenang. Luapan emosi orang tua akan membuat emosi anak makin tidak terkendali.

Jangan pernah membalas dengan berteriak, apalagi balas memukul anak dengan alasan mengajarkan dia apa yang dirasakan oleh kita. 

Alih-alih membuatnya paham apa yang kita rasakan. Aksi kekerasan yang kita lakukan malah akan memperkuat tindakannya dan ia akan mencatatnya sebagi contoh tentang apa yang harus dilakukan saat emosi memuncak.

4. Aturan yang pasti

Penerapan disiplin dan aturan yang sudah pasti membuat anak nyaman dan tahu pasti apa yang harus dia lakukan dan apa yang tidak boleh dia lakukan.

Ketika seisi rumah sudah sepakat dan paham, ledakan emosi karena penolakan pada suatu aturan dapat dihindarkan.

Apa yang harus dilakukan setelah anak melewati tantrumnya?

1. Anak harus tahu dia tetap disayang

Dekati anak, peluk dan tunjukkan bahwa kita menyayanginya. Tunjukkan pula bahwa kita paham apa yang dia rasakan.

Contoh: anak tantrum karena tidak dibelikan es krim. Setelah anak tenang, peluk dan katakan “Adek kesal ya tidak boleh makan es krim? Mama tahu es krim enak, Mama juga suka. Tapi sekarang Adek sedang batuk. Nanti kalau sudah sembuh kita sama-sama beli es krim ya.”

Cari waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang terjadi. Ajarkan anak menceritakan apa yang ia rasakan, sampaikan pula apa yang kita harapkan. 

2. Catat situasi pada hari anak tantrum

Walau para ahli mengatakan bahwa wajar anak tantrum satu hingga dua kali dalam seminggu, kita perlu segera mencatat situasi apa yang mengiringi anak tantrum.

Apakah semalam anak kurang tidur? Ataukah situasi tertentu yang sangat tidak dia sukai? Ataukah kegiatan di luar rutin yang membuatnya jadi tantrum?

Temper tantrum terkadang tidak terhindarkan, namun dengan memahami hal-hal di atas, semoga kita dapat mengurangi kemungkinan anak menjadi tantrum. 

Sumber: 1 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun