Selama beberapa hari terakhir saya membaca di berbagai media massa bahwa Jepang akan memperingati tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang menandai 80 (delapan puluh) tahun berakhirnya Perang Dunia II di Kawasan Asia Pasifik. Dan saya ingin menulisnya dalam satu artikel/opini analitis historis mengenai hal tersebut dan berbagi artikel tersebut dengan para pembaca Kompasiana yang budiman.
Delapan puluh tahun lalu, pada tanggal 6 Agustus 1945, langit Hiroshima di Jepang berubah menjadi cahaya menyilaukan yang mematikan. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pertama (Little Boy) yang digunakan dalam perang, dengan tujuan mengakhiri Perang Dunia II di Asia Pasifik. Ledakan itu menewaskan lebih dari 70.000 orang seketika, dan puluhan ribu lainnya meninggal dalam bulan-bulan berikutnya akibat luka bakar dan radiasi.
Kejadian ini menjadi tonggak sejarah kelam yang mengubah selamanya cara dunia memandang perang dan teknologi militer. Kemarin, tanggal 6 Agustus 2025, peringatan itu terjadi di tengah meningkatnya retorika nuklir di antara negara-negara pemilik senjata nuklir. Dari ketegangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan Rusia, termasuk ancaman Amerika Serikat terhadap Rusia dengan menempatkan dua kapal selam nuklir di wilayah yang tepat (appropriate locations), perseteruan Amerika Serikat dengan China, hingga ancaman nuklir Korea Utara dan Iran, bayang-bayang Hiroshima terasa relevan kembali. Pertanyaannya, apakah dunia telah belajar dari tragedi itu, atau justru sedang melangkah menuju jurang yang sama dengan teknologi modern yang jauh lebih mematikan.
Baca juga: Akankah Perang Nuklir Antara Rusia dan Amerika Serikat Terjadi?
Baca juga: Bunker-Buster Bomb vs Iran: Eskalasi Konflik Nuklir
Baca juga: Film Kandahar: Fiksi atau Peringatan Nuklir?
Hiroshima dalam Latar Perang Dunia II
Pada musim panas tahun 1945, Jepang berada di ambang kekalahan. Sekutu telah merebut banyak wilayah yang sebelumnya dikuasai Tokyo, dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang praktis lumpuh. Namun, perlawanan sengit Jepang di Iwo Jima dan Okinawa, disertai fanatisme militer yang menolak menyerah tanpa syarat, membuat Amerika Serikat khawatir akan korban besar jika melakukan invasi langsung ke daratan Jepang. Dalam konteks inilah Presiden Harry S. Truman memutuskan menggunakan senjata baru hasil Proyek Manhattan, bom atom, untuk memaksa Jepang menyerah.