Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Netanyahu Tegaskan Kekaisaran Ottoman Tak akan Kembali

20 Juni 2025   23:04 Diperbarui: 21 Juni 2025   06:42 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu & Presiden Turki, Recep Tayypi Erdogan (Sumber/Kredit Foto: VOA Indonesia)

Penulis di Hagia Sophia, 27 Juni 2017 (Dokumentasi Pribadi)
Penulis di Hagia Sophia, 27 Juni 2017 (Dokumentasi Pribadi)

Secara domestik, neo-Utsmaniyah digunakan sebagai alat konsolidasi politik. Erdogan menghubungkan kejayaan masa lalu dengan identitas nasional modern, dan menciptakan rasa kebanggaan kolektif di tengah tekanan ekonomi dan isolasi internasional. Strategi ini juga dimaksudkan untuk menegaskan posisi Turki sebagai kekuatan independen, yang tidak bergantung sepenuhnya pada Barat, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atau Uni Eropa.

Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Banyak pihak melihatnya sebagai bentuk agresivitas baru dan ekspansionisme terselubung yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan. Sementara itu, bagi Erdogan, neo-Ottomanisme adalah ekspresi kedaulatan strategis dan respons terhadap tatanan global yang dianggap tidak adil bagi dunia Islam.

Penulis di depan Hagia Sophia, 30 April 2022 (Dokumentasi Pribadi)
Penulis di depan Hagia Sophia, 30 April 2022 (Dokumentasi Pribadi)

Strategi Geopolitik Turki dan Tekanan Israel

Pernyataan Perdana Menteri Netanyahu muncul di tengah hubungan tegang Israel--Turki. Presiden Erdogan kerap menyuarakan kritik tajam terhadap tindakan Israel, terutama dalam konflik Gaza, bahkan menyamakan Netanyahu dengan figur ekstrem Sejarah (Adolf Hitler).

Israel, melihat pergerakan Turki sebagai evolusi tidak langsung dari ambisi Ottoman, merasa terancam, terutama di arena geopolitik seperti Suriah dan Libya, di mana Turki memperluas kehadiran militernya.

Asal-Mula Konflik: Dari Ottoman ke Republik Modern

Sejarah hubungan Israel--Turki bermula setelah kemerdekaan Israel, ketika Turki menjadi negara Muslim pertama mengakuinya tahun 1949. Namun ketegangan mulai naik setelah intervensi Turki dalam konflik Gaza (2008--09) dan insiden Mavi Marmara (2010), yang merusak hubungan diplomatik meskipun pemulihan sebagian terjadi pada 2016.

Timeline Pembubaran Kekaisaran Ottoman (Sumber/Kredit Foto: Encyclopaedia Brittanica)
Timeline Pembubaran Kekaisaran Ottoman (Sumber/Kredit Foto: Encyclopaedia Brittanica)

Latar Kultural dan Politik Netanyahu

Pidato tentang kekhalifahan Ottoman muncul bersamaan dengan kunjungan Presiden Argentina Javier Milei. Perdana Menteri Netanyahu menggambarkan jalur sejarah Yahudi dari Ottoman ke diaspora global, tetapi secara politis ia ingin menegaskan bahwa kebangkitan ambisi Ottoman di bawah Erdogan tidak relevan dengan situasi saat ini. Pendekatan ini dimaksudkan sebagai tanda tegas bahwa pengaruh Turki tidak akan memperluas hegemoni regional.

Presidem Argentina, Javier Milei, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (Sumber/Kredit Foto: gov.il)
Presidem Argentina, Javier Milei, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (Sumber/Kredit Foto: gov.il)

Geopolitik Regional dan Posisi Erdogan

Turki memposisikan diri sebagai kekuatan regional melalui dukungan terhadap Hamas, dominasi di Suriah, dan kehadiran militer di Libya. Strategi ini dipandang oleh Israel sebagai ancaman langsung, menyingkirkan keseimbangan dominasi negara-negara Arab dan Israel. Pernyataan "Ottoman tidak akan kembali" adalah respons retoris untuk membendung arus pengaruh ini.

Implikasi pada Hubungan Israel--Turki dan NATO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun