Komunitas Tionghoa peranakan di sana mulai mengganti kulit pangsit dan mie (hidangan Tionghoa klasik) dengan lontong dan sayur lodeh, untuk menyesuaikan bahan lokal dan selera masyarakat Jawa Tengah.
Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Imlek) menjadi momen penting keluarga, dan makan besar dijadikan simbol kebersamaan dan rasa syukur.
Lontong Cap Go Meh di Semarang masih sangat "halus" dan berakar pada rasa Jawa Tengah yang lembut dan simbolik.
Surabaya berkembang sebagai kota pelabuhan yang kuat secara ekonomi dan budaya.
Komunitas Tionghoa di Surabaya lebih cepat berbaur dengan budaya pesisir Jawa Timur dan Madura --- lebih ekspresif dalam rasa, menggunakan petis, santan pekat, dan bumbu berani.
Karena itu, Lontong Cap Go Meh di Surabaya mulai berkembang dengan cita rasa yang lebih "berani" dan kaya, terutama dengan munculnya osik petis telur, lodeh rebung, dan sambal goreng udang.
Makanan ini menjadi simbol kelimpahan, kekuatan, dan rasa syukur atas hasil laut dan daratan.
Lontong Cap Go Meh Surabaya
Karakter rasa: Lebih gurih, kaya santan, rempahnya kuat.