Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hak Atas Tanah dan Sumber Dayanya adalah Hak Asasi Manusia

25 Februari 2020   16:23 Diperbarui: 7 Maret 2020   13:41 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan-gerakan sosial dan kelompok-kelompok masyarakat sipil menuntut hak asasi manusia atas tanah, yang belakangan ini diartikulasikan di dalam sebuah draf deklaasi PBB tentang buruh tani. Beberapa pengacara dan pakar hak asasi manusia berargumen bahwa  hak asasi manusia atas tanah dapat ditempatkan di dalam keputusan dan pernyataan badan-badan tribunal dan perjanjian. Para ahli PBB untuk hak atas rumah dan hak atas pangan juga menuntut adanya pengakuan hukum hak asasi manusia internasional atas tanah sebagai hak asasi manusia.

Isu tanah sangat penting bagi sejumlah hak-hak yang tercantum di dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR), dan badan atau lembaga perjanjian bertugas menerjemahkan Kovenan tersebut. Badan atau lembaga yang sama yang menerjemahkan hak asasi manusia atau air belakangan ini bekerja untuk mengembangkan sebuah pernyataan umum mengenai tanah. Pernyataan Umum ini akan menjadi langkah maju yang sangat berguna untuk menguraikan tautan antara kewajiban mengikat pemerintah dengan masalah tanah.

Sementara status hak universal atas tanah masih tetap belum jelas, hukum hak asasi manusia  sudah menyediakan lebih banyak kejelasan bagi kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat asli (Indigenous people)  sebagai contoh, memiliki hak asasi manusia atas tanah dan wilayah yang jelas. Hak ini di lindungi di dalam Konvensi ILO 169 dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Msyarakat Asli, namun juga telah diterjemahkan secara resmi menjadi perjanjian, seperti ICESCR. Begitupula  tribunal-tribunal hak asasi dan badan-badan hak asasi manusia telah nmenentukan bahwa kelompok-kelompok bukan masyarakat asli juga memiliki hak asasi manusia atas tanah.

Tanpa memandang status teknisnya di dalam hukum internasional, tanah adalah esensial bagi individu-individu dan masyarakat-masyarakat di seluruh dunia -- suatu sumber mata pencaharian yang vital, unsur yang diperlukan bagi kehidupan yang bermartabat. Untuk itu Hak asasi manusia atas tanah dan sumber dayanya sudah sepatutnya kita kejar, diperjuangkan untuk memastikan di masa depan bahwa hak atas tanah menjadi terkait tak terpisahkan dengan hak asasi manusia.

Akses Atas Tanah Adalah juga Hak Perempuan

Selain isu global hak asasi manusia atas tanah, di dalamnya juga terdapat isu yang juga sangat penting yaitu  hak perempuan atas tanah dan sumber dayanya.  Hak-hak perempuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum hak asasi manusia internasional. Di dalam persoalan tanah ini, perempuan merupakan pusat dari semua pelangggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.

Dari akuisisi tanah berskala besar yang mengusir komunitas-komunitas tanpa kompensasi, pelanggaran batas oleh industri-industri bahan galian atau tambang terhadap tanah-tanah masyarakat asli dan komunal, urbanisasi yang tak terencana yang memaksa orang-orang hidup di dalam pemukiman-pemukiman informal yang kumuh, dampak perubahan iklim dan bencana alam atas pemanfaatan tanah dan produktifitas, sampai kepada perampasan tanah dan properti oleh kerabat atau negara, perempuan sangat terpengaruh oleh ketidakamanan kepemilikan tanah yang disebabkan oleh hukum-hukum dan praktek-praktek yang diskriminatif pada tingkatan nasional, komunitas dan keluarga.  

Dalam hal ini Negara seharusnya berbuat lebih dari sekedar memenuhi syarat dengan kewajibannya untuk memastikan bahwa perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam akses atas tanah di dalam hukum dan prakteknya. Ini menyiratkan adopsi tindakan-tindakan untu mecegah korporasi-korporasi swasta, para investor, elit-elit lokal yang berpengaruh, organisasi-organisasi multilateral, para pelaku usaha perdagangan regional dan para anggota keluarga  dari mendiskriminasikan perempuan di dalam hak-haknya untuk mengakses, memeanfaatkan, mewariskan, mengontrol dan memiliki tanah.

Adalah fakta secara global bahwa perempuan memiliki sedikit tanah dan sedikit hak yang terjamin atas tanah dibandingkan laki-laki. Rata-rata kurang dari 20 persen pemilik tanah di dunia, namun diperkirakan 43 persen adalah buruh pertanian. Diperkirakan secara global lebih dari 400 juta perempuan bekerja di pertanian. 

Walaupun peranan  perempuan krusial di dalam pertanian, produksi pangan, dan mata pencaharian berbasis tanah lainnya, namun program distribusi tanah, reformasi agraria seringnya menyasar rumah tangga , atau menyerahkan kepemilikan tanah kepada "kepala rumah tangga" yang seringnya didefinisikan sebagai laki-laki. Ini dikarenakan perempuan tak dianggap sebagai pemilik tanah atau petani, mereka bisanya tak dimasukkan dalam program-program perluasan dan dukungan pertanian, serta kredit dan pinjaman finansial yang diperlukan untuk pemanfaatan tanah secara eefektif.

Dengan tiadanya hak penguasaan tanah, perempuan bisa terusir dari rumah mereka akibat kematian suaminya, kurangnya jalan keluar lain saat pasangan yang kasar mengusir mereka, tak dilibatkan dalam memutuskan menjual atau menyewakan tanah mereka. Tak memiliki klaim unutk kompensasi ketika tanah direbut oleh seorang investor, korporasi, atau pemerintah, atau kehilangan akses atas kayu bakar, serat, pangan atau obat-obatan dari hutan yang didesain sebagai area konservasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun