Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah yang Merampas Kemerdekaan Anak-anak

27 Juli 2019   12:38 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah kini adalah tempat dimana semua anak-anak belajar perbedaan yang oleh "hunters-gatherers" tak pernah tahuperbedaan antara kerja dan bermain. Guru berkata " kamu mesti kerjakan pekerjaanmu dan lalu kamu bisa bermain." Jelas sekali, menurut pesan ini, kerja, yang melingkupi seluruh belajar di sekolah, adalah sesuatu yang seseorang tak ingin kerjakan namun harus, dan bermain, yang adalah semua yang orang ingin kerjakan,  secara relatif memiliki nilai kecil. Itulah, mungkin, adalah pelajaran yang paling menonjol dari metode bersekolah kita. Jika anak-anak tidak belajar apa-apa di sekolah, mereka belajar perbedaan antara kerja dan bermain dan bahwa belajar adalah bekerja, bukan bermain.

Demikianlah saya mencoba menjelaskan bagaimana sejarah humanitas telah membawa kepada perkembangan sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Sekolah publik di Indonesia di transfer dari Belanda pada masa pendudukan Belanda.  metode-metode pendidikan di Belanda, juga tak lepas dari metode-metode yang berkembang di Eropa. Praktek-praktek disiplin, penanaman, kekuasaan assertif dalam pendidikan Belanda pun juga ditranfer ke dalam praktek-praktek sekolah publik di Indonesia. Meskipun metode dan praktek disiplin sekarang tidak begitu kasar seperti dulu, akan tetapi intinya tetap sama sekolah adalah penanaman pikiran. Sejak jaman kolonial, Jaman orde lama, orde baru dan reformasi, pendidikan sekolah adalah penanaman nilai-nilai, apakah itu patriotisme, nasionalisme, pancasila, ataupun nilai-nilai agama.

Sifat alamiah anak-anak seperti rasa keingintahuan yang kuat, dorongan atau hasrat yang kuat untuk bermain dan mengekplorasi dunia di sekitarnya dijauhkan atau ditekan, dengan demikian kebebasan dan kemerdekaan anak-anak dalam belajar pun 'hilang' dari sekolah. Di sekolah anak-anak tidak bahagia, sekolah seperti berada di 'penjara.' Maka tidak heran jika bel tanda pulang sekolah berdering, mereka merasa lega, dan gembira, seperti lepas dari tekanan, meskipun itu hanya sebentar, karena ada pekerjaan rumah yang harus di kerjakan, harus mengulang pelajaran di sekolah atau sepulang sekolah mereka lanjut belajar di tempat-tempat/lembaga Bimbingan Belajar.

Pun walaupn beberapa tahun belakangan ini sudah bermunculan sekolah-sekolah alternatif yang berbeda dengan sekolah-sekolah konvensional. Dengan teknik-teknik dan cara mengajar serta lingkungan sekolah yang tak membosankan dan menarik, namun bila menganggap sekolah sebagai penanaman,bila bermnain dan eksplorasi tidak menjadi fondasi belajarnya maka sekolah alternatif inipun tak jauh berbeda dengan sekolah konvensional, bedanya paling pada teknik dan cara-cara mengajar yang menarik dan tak membosankan dibanding sekolah konvensional.

Namun bukannya tidak ada sekolah yang berbasiskan bermain dan eksplorasi, di beberapa negara Sekolah-sekolah seperti ini dufsh muncul, misalnya di Australia, ada Brisbane Independent School; di Brazil ada Escola Lumiar; di Kanada ada Alpha Alternative School;di Jerman ada Neue Schule Hamburg; di India ada Walden's Path Hyderabad; di Jepang ada Kinokuni Children's Village (Kinokuni Kodomo no Mura); di Inggris ada Summerhill School; di Amerika Serikat ada Liberty School; di Indonesia ada sekolah Sanggar Anak Alam atau Salam.

di sini saya sertakan pengakuan salah seorang orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah Sanggar Anak Alam atau Salam mengatakan"

" Yang jelas ga ada tekanan untuk bawa selalu buku dan bikin PR... Mandiri buat bikin riset... Cenderung santai...Anakku jadi lebih mandiri.... jadi bener-bener belajar untuk ngurus diri sendiri..." 

Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang inspiratif yang  sukses menjadi  seorang tokoh penemu jenius terkenal, berkat pendidikan berbasiskan  bermain dan mengeksplorasi dengan bebas,  begini kisahnya:

" Di Ohio, Amerika Serikat pada tahun 1847, lahir seorang anak dengan panggilan Tommy. Dia lahir dengn kemampuan biasa-biasa saja, tidak memiliki kecerdasan khusus seperti anak-anak lainnya. Saat belajar di sekolah, Tommy tidak mampu untuk mengikuti pendidikan atau pelajaran di sekolahnya. Oleh sebab itu Tommy selalu mendapatkan nilai buruk. Pihak sekolah memandangnya sebagai anak yang bodoh, sehingga para guru memilih menyerah dalam usah mendidik Tommy. Tommy pun akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

Tommy pun menjalani pendidikan di rumah. Tommy pun belajar dengan bebas, gembira, sambil bermain dan mengeksplorasi alam sekitar, tanpa harus memikirkan nilai-nilai pelajaran yang harus dicapainya. Di rumah dia juga membaca buku-buku ilmiah dewasa, rasa keingintajuannya sangat besar, karena itu Tommy pun mulai melakukan eksperimen-eksperimen, dia juga pernah membedah hewab-hewan karena keingintahuannya yang besar terhadap hewan-hewan alam sekitar lingkungan rumahnya. Usia 12 tahun, Tommy kecil sudah memiliki laboratorium kimia kecil di ruang bawah tanah rumahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun