Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah yang Merampas Kemerdekaan Anak-anak

27 Juli 2019   12:38 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para majikan di industri melihat sekolah sebagai sebuah cara untuk menciptakan pekerja yang lebih baik. Bagi mereka pelajaran yang paling krusial adalah ketepatan waktu, mengikuti arahan, tahan terhadap pekerjaan menjemukan dalam waktu yang lama berjam-jam, dan kemampuan minimal membaca dan menulis. Dari sudut pandang mereka, makin menbosankan subyek yang diajarkan di sekolah makin bagus.

Ketika bangsa-bangsa menyatu dan menjadi makin tersentralisir, para pemimpin nasional melihat sekolah sebagai cara untuk menciptakan para patriot yang baik dan tentara-tentara masa depan. Bagi mereka, pelajaran yang krusial adalah mengenai kejayaan dan keagungan tanah air, prestasu mengagumkan dan kebajikan moral dari para pendiri dan pemimpin bangsa, dan untuk kebutuhan mempertahankan bangsa dari kekuatan-kekuatan jahat dimanapun berada.

Namun di dalam campur aduk ini, ada para pembaharu yang sungguh-sungguh peduli dengan anak-anak, yang pesan-pesannya bisa membangkitkan rasa simpati kita pada masa kini. Inilah orang-orang yang melihat sekolah sebagai tempat untuk melindungi anak-anak dari kekuatan-kekuatan merusak dari dunia luar untuk menyiapkan anak-anak dengan dasar moral dan intelektual yang dibutuhkan untuk berkembang menjadi orang dewasa yang kompeten, baik dan terhormat. Namun mereka juga punya agenda apa yang harus anak-anak pelajari. Anak-anak harus belajar pelajaran-pelajaran moral dan disiplin, seperti bahasa latin dan matematika, yang akan melatih pikiran mereka dan merubah mereka menjadi cendekiawan.

Dengan demikian, banyak pihak yang terlibat di dalam membangun dan mendukung sekolah memilki pandangan yang jelas mengenai pelajaran apa yang harus dipelajari oleh anak-anak di sekolah.  Dan jelas sekali tak ada orang yang percaya bahwa anak-anak dibiarkan dengan alat-alat nya sendri, bahkan dengan lingkungan yang melimpah untuk belajar, semuanya belajar sesuai dengan pelajaran yang mereka orang dewasa anggap sangat penting. Mereka semua melihat sekolah sebagai penanaman (inculacation) bukan pemahaman',  menanamkan kebenaran-kebenaran tertentu dan cara berpikir ke dalam pikiran anak-anak, baik dulu maupun sekarang, adalah repetisi dan ujian yang dipaksakan untuk merngingat kembali apa yang telah diajarkan.

Dengan munculnya sekolah, orang-orang mulai berpikir bahwa belajar itu adalah pekerjaan anak-anak. Metode-metode kekuasaan-asertif yang digunakan anak-anak bekerja di ladang-ladang dan pabrik-pabrik ditransfer secara sangat alamiah ke ruang-ruang kelas.

Repetisi dan memorasi pelajaran-pelajaran itu membosankan bagi anak-anak, yang instingnya mendorong mereka secara konstan untuk bermain dengan bebas dan mengeksplorasi dunia oleh mereka sendiri, Seperti anak-anak yang tak siap beradaptasi bekerja di ladang-ladang dan pabrik-pabrik, merekapun tak siap beradaptasi untuk bersekolah. Ini tak mengejutkan bagi orang-orang dewasa yang terlibat. Pada titik ini di dalam sejarah, ide bahwa sifat keingintahuan anak-anak yang benilai benar-benar telah dilupakan. Banyak orang bersumsi bahwa membuat anak-anak belajar di sekolah  maka sifat keingintahuan anak-anak bisa jauhkan dari mereka. Hukuman dalam segala bentuknya dipahami sebgai bagian yang intrinsik bagi proses edukasional. Di beberapa sekolah anak-anak diijinkan bermain dalam jam-jam tertentu (waktu istrirahat), mengijinkan mereka untuk beristirahat, , namun bermain tak dianggap sebagai suatu alat atau cara belajar. Di kelas, bermain merupakan musuh belajar

Metode-metode memaksa yang kasar sudah lama digunakan untuk menjaga anak-anak tetap pada tugasnya di lahan pertanian atau di pabrik lalu dibawa ke dalam sekolah untuk membuat anak-anak belajar. Salah seorang guru di Jerman memegang rekor hukuman yang ia buat selama 51 tahun mengajar, berikut ini daftarnya: "911.527 kali menghajar dengan tongkat, 124.010 kali menghajar dengan cambuk, 20.989 kali memukul dengan penggarisan, 136.715 menghajar dengan tangan, 10.235 kali menghajar mulut, 7.905 mentinju telinga, dan 1.118.800 kali menghajar kepala." Jelas sekali bahwa sang guru tersebut bangga atas semua didikan yang telah ia perbuat.

Pada jaman sekarang, metode-metode sekolah tidak begitu kasar, namun asumsi dasar tak berubah. Belajar berlanjut didefinisikan sebagai pekerjaan anak-anak, dan cara-cara kekuasaan-asertif digunakan untuk membuat anak-anak melakukan pekerjaan tersebut.

Pada abad 19 dan 20, sekolah publik secara bertahap berevolusi menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai sekolah konvensional. Metode-metode disiplin menjadi lebih manusiawi, atau setidak-tidaknya tidak begitu fisik, pelajaran-pelajaran menjadi lebih sekuler, kurikulum diperluas, karena pengetahuan meluas, sebuah daftar mata pelajaran yang terus berkembang; dan jumlah jam, hari dan tahun sekolah wajib bertambah terus menerus. Sekolah secara bertahap menggantikan kerja di ladang, kerja di pabrik, dan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan utama anak. Sebagaimana orang-orang dewasa melalui 8 jam per hari di tempat kerja mereka, anak-anak sekarang melalui enam jam per hari di sekolah, plus sejam lagi atau lebih banyak pekerjaan rumah, dan seringkali lebih banyak jam pelajaran di luar sekolah. Dari waktu ke waktu, kehidupan anak-anak menjadi meningkat didefinisikan dan distrukturkan oleh kurikulum sekolah. Anak-anak sekarang hampir secara umum diidentifikasi oleh tingkatan mereka di sekolah, seperti orang-orang dewasa yang diidentifikasi oleh pekerjaan atau karir mereka.

Sekolah sekarang saat kini tidak kurang dan tidak lebih kasarnya ketibang jaman dulu. Namun premis mengenai sifat belajar tetap tidak berubah: belajar itu adalah kerja keras; sesuatu yang anak-anak harus wajib dilakukan, bukan sesuatu yang akan terjadi secara alamiah melalui kegiatan-kegiatan pilihan anak-anak itu sendiri. Pelajaran-pelajaran spesifik yang mesti anak-anak pelajari ditentukan oleh edukator-edukator profesional, bukan oleh anak-anak, dengan demikian pendidiakn jaman kini masih, seperti sebelumnya, adalah soal penanaman (meski para edukator cenderung menghindari istilah tersebut dan menggunakan, secara keliru, istilah seperti "discovery" atau" penemuan").

Para edukator yang pintar kini mungkin saja menggunakam "bermain" sebagai sebuah alat untuk membuat anak-anak menikmati beberapa pelajaran mereka, dan anak-anak mungkin saja diijinkan bebas bermain pada saat jam istirahat (meskipun ini berkurang pada jaman sekarang ini), namun kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak itu sendiri sudah pasti dianggap tak memadai sebagai sebuah fondasi bagi pendidikan. Anak-anak yang hasratnya untuk bermain sangat kuat, mereka yang tak betah duduk terus tidak lagi dijauhkan; malah mereka terobati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun