Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah yang Merampas Kemerdekaan Anak-anak

27 Juli 2019   12:38 Diperbarui: 28 Juni 2020   22:22 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun ini, kita menyaksikan pro-kontra kebjakan penerimaan peserta didik atau siswa baru  akibat peraturan dimana usia menjadi unsur untuk menyeleksi siswa baru dari tingkat SD, SMP, dan SMA.  Banyak orang tua yang anaknya yang masuk SMP atau SMA terkaget-kaget, gagap, merasa jadi ribet, tidak puas, merasa tidak adil  dengan pemberlakuan sistem yang baru diterapkan pada tahun ini. Banyak orang tua merasa kebijakan baru ini menghilangkan harapan anak-anak mereka diterima di sekolah favorit. Sementara Pemerintah bersikukuh kebijakan baru ini untuk keadilan dan pemerataan pendidikan berkualitas.

Setiap tahun ajaran baru, ada siswa baru, sekolah baru. Hampir tiap pagi lalu lintas sangat padat, kebanyakan adalah orang tua yang mengantar anaknya masuk sekolah, tiba diperempatan jalan, macet, karena pengendara ingin mendahului dan tidak sabar, bikin stress. Di sekolah siswa-siswa, terutama siswa baru, diperkenalkan peraturan-peraturan sekolah, tidak boleh ini itu, yang boleh ini itu, belajar yang baik itu begini begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Mulai saat itulah anak-anak kehilangan kebebasan, kegembiraannya.

Sekolah di jaman modern seperti sudah menjadi keharusan, kewajiban, dan hak, terutama bagi anak-anak dan remaja, baik itu secara nasional maupun internasional, Bagi orang tua sekolah sudah bagaikan tiket masa depan cerah bagi anak-anak mereka, tiket untuk merubah nasib menjadi lebih baik, bahkan banyak juga yang meyakini sekolah adalah obat mujarab untuk mengentaskan kemiskinan.

Banyak orang tak mempertanyakan lagi, mungkin karena itu perintah undang-undang yang koersif, karena propaganda pemerintah yang terus menerus, bertahun-tahun, sehingga banyak orang menerimanya sebagai hal yang wajar, lumrah, logis, dan sebagainya.

Namun banyak yang tak menyadari bahwa sekolah juga telah merampas hak anak-anak, kebebasan anak.  Sekolah wajib atau di Indonesia lebih dikenal dengan wajib belajar ( Dulu  9 tahun:6 tahun SD,  3 tahun SMP, sekarang 12 tahun: SD, SMP dan  plus 3 tahun SMA) adalah perintah undang-undang, sehingga menjadi kewajiban pemerintah dari pusat hingga lokal, orang tua dan anak-anak.  Bila di dunia kerja ada istilah kerja paksa, maka sekolah wajib adalah sekolah paksa. Sekolah wajib merupakan sebuah serangan bagi kemerdekaan kebebasan anak.-anak. Anak-anak diwajibkan sekolah, namun disekolah mereka tidak merdeka, tidak bebas. Faktanya anak-anak lebih banyak dirampas kemerdekaannya di sekolah dibandingkan para kriminal dewasa di penjara.

Anak-anak diberitahu dengan persis dimana seharusnya tempat mereka berada, dan apa yang harus mereka lakukan,  hampir di setiap momen. Kebebasan berbicara dan berkumpul diasingkan dari mereka.  Mereka tak bisa berkata-kata terhadap peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti.  Dan ketika mereka melanggar peraturan, tak ada proses yang menentukan bersalah atau tidak bersalah, atau hukuman apa yang mereka terima. Sekolah selalu seperti ini, namun jaman sekarang lebih buruk dari pada jaman saya masih duduk di sekolah dasar dan SMP pada tahun 70-an dan 80-an. Karena dikelola lebih kaku dan lebih membatasi. Contoh beberapa perubahan yaitu:

Sekarang Tahun sekolah menjadi lebih lama, dahulu ketika saya anak-anak (SD dan SMP) sekolah dililburkan selama bulan Ramadhan.

Jam sekolah menjadi lebih lama, rata-rata 7 jam sehari, malah ada SMP yang lebih dari 7 jam, dulu sewaktu saya anak-anak, sekolah hanya 6 jam sehari.

Jam istirahat juga banyak dikurangi, baik waktunya mupun kebebasan yang diijinkan, sekarang ini jam istirahat sekolah juga banyak dikurangi, rata-rata hanya 20 menit, berbeda dengan jaman saya kanak-kanak, jam istirahat sekolah rata-rata 1 jam.

Sekarang PR atau pekerjaan rumah malah makin banyak dan sering ketimbang jaman saya dulu masih anak-anak. Dengan demikian sekolah sekarang in anak-anak tidak bebas dari sekolah, bahkan saat mereka sudah pulang ke rumah.

Kadang kala banyak orang bilang bahwa pengalaman anak-anak di sekolah adalah seperti orang dewasa saat bekerja, namun itu hanya sebuh delusi. Orang dewasa tak dipaksa oleh peraturan perundang-undangan untuk bekerja pada pekerjaan tertentu, dan orang dewasa juga selalu bebas untuk berhenti bekerja. Lebih dari satu dekade yang lalu kita telah melarang buruh anak penuh waktu, percaya bahwa itu sangat tidak baik bagi anak-anak. Namun sekarang sekolah sama dengan pekerjaan penuh waktu, sesuatu yang lebih buruk dari pekerjaan penuh waktu yang bisa ditolerir oleh orang dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun