Kasus yang baru-baru ini terjadi di Prabumulih, Sumatra Selatan, mengingatkan kita pada relasi antara kekuasaan, integritas, dan kepercayaan publik. Seorang kepala sekolah SMPN 1, Roni Ardiansyah, sempat dicopot dari jabatannya setelah menegur seorang siswa yang membawa mobil ke lingkungan sekolah.
Isu yang tersebar di ruang publik ini menyebut bahwa siswa tersebut adalah anak Wali Kota Prabumulih. Pencopotan sang kepala sekolah pun memantik reaksi publik yang luas, hingga akhirnya ada klarifikasi dari pihak pemerintah kota bahwa alasan pencopotan bukan karena teguran tersebut.
Apapun detail faktanya, publik sudah terlebih dahulu menangkap sinyal adanya main kuasa. Fenomena ini berulang: pejabat publik lebih memilih menyangkal tuduhan daripada berani secara jernih mengakui kesalahan bila memang salah, atau menegaskan dengan obyektif bila benar.
Sikap defensif ini, alih-alih memperbaiki keadaan, justru memperbesar jarak antara pemerintah dan rakyat. Relasi antara pemimpin dan rakyatnya retak.
Krisis Keteladanan
Dalam konteks pendidikan, kepala sekolah atau guru sesungguhnya hanya menjalankan tugasnya: mendidik dan menegakkan aturan. Ketika tindakan mendidik justru berbalas mutasi atau pencopotan, pesan yang tersampaikan ke publik sangat berbahaya: integritas kalah oleh kuasa.
Di sinilah kita melihat krisis keteladanan. Anak pejabat yang mestinya menjadi contoh disiplin justru terlindungi oleh tembok kuasa. Anak pejabat bukan memamerkan kekayaan atau arogansi.
Padahal, kepemimpinan publik bukan sekadar mengatur administrasi. Lebih dari itu, ia adalah panggilan moral. Pemimpin yang berintegritas tidak anti terhadap kritik, apalagi menghindar dari koreksi. Ia justru akan menjadikan kritik sebagai cermin untuk memperbaiki diri, sekalipun itu menyakitkan secara pribadi.
Pemikiran Zygmunt Bauman tentang modernitas cair memberi kacamata tajam untuk membaca fenomena ini. Kita hidup di zaman ketika struktur sosial, nilai, dan norma tidak lagi kokoh. Semuanya cair, berubah cepat, dan sering tanpa pegangan. Dalam situasi cair seperti ini, peran pemimpin menjadi sangat krusial.
Bauman menekankan bahwa etika tidak cukup berhenti pada aturan formal. Etika sejati adalah tanggung jawab terhadap yang lain (responsibility for others)---terhadap sesama manusia. Artinya, pemimpin sejati adalah mereka yang berani memikul tanggung jawab moral: mengakui salah bila salah, membela yang benar meski itu merugikan dirinya sendiri.
Sayangnya, yang sering kita lihat justru sebaliknya. Kekuasaan dipakai bukan untuk melindungi kepentingan umum, melainkan untuk menutupi kelemahan pribadi atau keluarga. Inilah yang Bauman sebut sebagai kerapuhan moral dalam masyarakat cair. Ketika integritas pejabat goyah, kepercayaan publik pun runtuh.