Di awal tahun 2025, kita kembali disuguhi banyaknya berita yang sama: kasus korupsi oleh pejabat terungkap di mana-mana. Mulai dari Pertamina, Chromebook, Bank BJB, hingga kasus suap izin hutan. Terbaru, KPK menangkap Wamenaker diduga kasus korupsi berupa tindak pemerasan. Pertanyaan yang timbul mengapa korupsi makin banyak, sementara pendidikan karakter dan integritas diri serta pencegahan anti korupsi digalakkan?
Belum lagi, pengetahuan umum bahwa sumpah jabatan diucapkan, pakta integritas ditandatangani, dan para pelakunya sering kali dikenal sebagai sosok yang religius, fasih beretorika soal etika. Namun, ketika kesempatan datang, pagar moral itu runtuh.
Contohnya, kasus Pertamina. Dugaan manipulasi impor minyak yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun per tahun (ISO Indonesia Center, 2025) bukan sekadar angka. Itu adalah dana yang seharusnya bisa membangun ribuan sekolah atau puskesmas. Modus penggelembungan biaya dan kontrak fiktif berlangsung bertahun-tahun di balik meja rapat, seolah-olah semua baik-baik saja (Reuters, 10/7/2025).
Di sektor pendidikan, dana Rp9,9 triliun dihabiskan untuk Chromebook yang nyatanya tak bisa digunakan di daerah terpencil karena tak ada internet. Proyek tetap dijalankan, meskipun jelas manfaatnya dipertanyakan. Ini menunjukkan, sering kali justifikasi teknis hanyalah topeng untuk menutupi kepentingan pribadi.
Korupsi tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh subur di persimpangan antara kekuasaan dan kesempatan. Ia dilumasi oleh budaya permisif, "semua orang juga melakukan hal yang sama," dan diperkuat oleh sanksi hukum yang lemah.
Mengapa Korupsi Sulit Diberantas
Pertanyaan ini bukan lagi soal kurangnya hukum atau aturan, melainkan soal kita. Ada tiga alasan mendasar mengapa korupsi sulit diakhiri:
Pertama, adanya lingkaran pergaulan tertutup. Banyak pejabat dan ASN terperangkap dalam lingkaran sosial yang homogen. Mereka hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang serupa. Akibatnya, mereka menciptakan "blind spot" terhadap praktik yang salah dan memperkuat sikap nepotisme. Jaringan sosial eksklusif ini, menurut riset Dincer & Uslaner (2010), justru meningkatkan risiko korupsi.
Kedua, ekosistem yang rumit. Korupsi bukan sekadar tindakan satu atau dua orang, melainkan sebuah ekosistem. Ini adalah jaringan kekuasaan yang rumit dan saling menopang, menghubungkan birokrasi, bisnis, dan politik. Tanpa memahami jaringan ini, kita hanya akan memangkas ranting, bukan mencabut akarnya.
Ketiga, ilusi integritas.Inilah inti persoalannya. Banyak orang berhenti pada simbol. Sumpah jabatan menjadi rutinitas, pakta integritas hanya dokumen, dan ibadah menjadi ritual tanpa refleksi.
Integritas sejati, menurut filsuf Charles Taylor, adalah keselarasan antara apa yang kita yakini dan apa yang kita lakukan. Tapi, yang terjadi adalah integritas menjadi semacam "merek moral" yang hanya dipajang di depan.