Suatu ketika di ruang rapat salah satu instansi pemerintah, seorang staf muda mengangkat tangan. Ia mencoba menunjukkan bahwa ada kesalahan yaitu adanya selisih angka dalam rancangan anggaran yang baru saja dipresentasikan. Alih-alih disambut sebagai masukan untuk memperkuat akuntabilitas, tatapan pimpinan langsung berubah dingin. Setelah rapat, si staf menerima pesan singkat: "Hati-hati, kamu tadi menyinggung orang penting".
Fenomena ini menunjukkan bahwa integritas bukan hanya soal bebas dari perilaku korupsi, tetapi juga soal keberanian menerima dan memberi kritik demi kebenaran. Ketika kritik dianggap sebagai serangan, organisasi kehilangan salah satu pilar utama integritas yaitu keterbukaan terhadap koreksi.
Ancaman atas kritik
Pada Mei 2025, sebuah opini kritis berjudul "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?" yang terbit di Detik.com akhirnya dihapus tidak lama setelah dipublikasikan. Penulisnya---seorang ASN---mengaku menerima ancaman fisik hingga memaksa menarik artikelnya demi keselamatan diri (Jawa Pos, 25/05/2025).
Kasus ini mencerminkan atmosfer di mana kritik dianggap mengancam ketertiban institusional. Tak hanya itu, seorang guru neurosains yang mengkritisi wacana sekolah masuk pukul 06.00 pagi melalui media sosial justru dihujani komentar sinis dan personal. Dalam perspektifnya, kritiknya menjadi "panas bukan karena salah kontennya, melainkan karena orang merasa terlalu terancam" (Kompas.id, 9/6/2025).
Fenomena seperti ini amat selaras dengan budaya ewuh-pakewuh, sebuah etos tradisional yang memprioritaskan rasa sungkan terhadap atasan atau figur otoritas. Â
Studi administrasi publik menjelaskan bagaimana rasa sungkan ini sering menekan fungsi pengawasan internal---auditor enggan menyampaikan temuan yang mungkin dianggap menantang atasan (Kompas.com, 19/2/2025).
Ditambah lagi, budaya power distance yang tinggi memperkuat ketidakterbukaan. Kritik dianggap melecehkan hierarki, bukan sebagai upaya memperbaiki sistem.
Budaya Asal Bapak Senang
Fenomena "beri yang menyenangkan, hindari yang menyakitkan" menjadi nyata dalam praktik ABS---Asal Bapak Senang. Laporan dan data sering dipresentasikan dalam versi yang aman karena takut dianggap tidak loyal. Ketika kritik bisa melunturkan citra pimpinan, maka kebenaran diabaikan demi kenyamanan simbolik.Â
Banyak orang masih kesulitan membedakan antara mengkritik ide dan menyerang pribadi. Dalam budaya birokrasi yang formal dan kaku, menyampaikan kritik bisa dipersepsikan sebagai tindakan kurang ajar atau destruktif (Hidayat, 2017). Hal ini mendorong praktik self-censorship, di mana individu memilih diam ketimbang berkonfrontasi dengan norma senioritas.Â