Mohon tunggu...
Pormadi Simbolon
Pormadi Simbolon Mohon Tunggu... Pecinta Filsafat

Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi HARDIKNAS 2025 dan Integritas Pendidikan

4 Mei 2025   08:48 Diperbarui: 4 Mei 2025   08:48 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disparitas Regulasi dan Realitas Lapangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh, mencakup kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Lebih lanjut, Pasal 3 dengan tegas menggarisbawahi fungsi pendidikan nasional dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, dengan tujuan menghasilkan insan Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Ironisnya, realitas di lapangan seringkali bertolak belakang dengan cita-cita luhur ini. Usaha pendidikan di berbagai tingkatan cenderung lebih terfokus pada transfer ilmu pengetahuan dan pengembangan keterampilan kognitif, sementara pembinaan sikap hidup dan karakter belum mendapatkan penekanan yang proporsional dan sistematis.

Melampaui Paradigma Pengajaran Semata

Pada hakikatnya, usaha pendidikan adalah spektrum kegiatan yang luas, meliputi pemeliharaan dan pengasuhan di usia dini, pembiasaan nilai dan perilaku positif, pengajaran (transfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pemahaman hidup), hingga puncak tertinggi, yaitu pembinaan sikap hidup. Pengamatan terhadap praktik pendidikan sehari-hari di banyak institusi menunjukkan dominasi paradigma pengajaran yang menekankan pada aspek kognitif dan psikomotorik, seringkali mengabaikan dimensi afektif yang krusial.

Manusia dilahirkan dalam keadaan tabula rasa, sangat bergantung pada lingkungan untuk tumbuh dan berkembang. Proses pemeliharaan, perawatan, dan pengasuhan adalah fondasi awal yang tak tergantikan. Namun, ini saja belum cukup. Penanaman pembiasaan berperilaku baik, jujur, rukun, dan memiliki tenggang rasa menjadi tahapan penting berikutnya dalam membentuk karakter.

Pengalaman penulis di bangku sekolah dasar, di mana pembelajaran seringkali didominasi oleh aktivitas mencatat dan menghafal materi, menjadi ilustrasi bagaimana pengajaran dapat terjebak pada transfer pengetahuan tanpa kedalaman pemahaman dan internalisasi nilai. Sementara itu, contoh pembelajaran di tingkat menengah kejuruan yang berorientasi pada keterampilan praktis menunjukkan pentingnya aspek keterampilan, namun seringkali mengabaikan konteks etika dan tanggung jawab profesional.

Transfer nilai dan pemahaman hidup, seperti nilai-nilai Pancasila dan norma sosial, juga merupakan bagian integral dari pendidikan. Namun, implementasinya seringkali berhenti pada tataran kognitif, di mana peserta didik sekadar mengetahui dan menghafal, tanpa penghayatan dan implementasi dalam perilaku sehari-hari.

Puncak Esensi Pendidikan: Membangun Pilar Sikap Hidup

Kegiatan pendidikan yang paling esensial sekaligus paling menantang adalah membina sikap hidup. Inilah kulminasi dari seluruh usaha pendidikan. Tanpa tercapainya pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat, keberhasilan pendidikan secara holistik patut dipertanyakan.

Sikap hidup, sebagaimana didefinisikan oleh Alex Lanur (2019), adalah kecenderungan batin yang menetap dan secara konsisten mengarahkan seseorang untuk memilih kebaikan dalam berbagai situasi kehidupan. Proses pembentukannya berlangsung secara bertahap melalui internalisasi nilai, refleksi, dan praktik berulang hingga menjadi otomatis dan mendarah daging. Senada dengan itu, Zygmunt Bauman (dalam Simbolon, Pormadi 2024) menekankan bahwa akar dari sikap moral individu terletak pada hati nurani, bukan pada paksaan eksternal semata. Pierre Bourdieu dengan konsep habitus-nya juga menyoroti bagaimana struktur sosial dan pengalaman internal membentuk disposisi dan kecenderungan perilaku individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun