Mohon tunggu...
pmm dandong
pmm dandong Mohon Tunggu... Mahasiswa

PMM - KKN Kelompok 03 Gelombang 1 Kelurahan Dandong Kec. Srengat Kab. Blitar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merawat Warisan, Menyatu dalam Tradisi: Bersih Kelurahan Dandong 2025

4 Agustus 2025   20:05 Diperbarui: 4 Agustus 2025   20:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Suasana Persiapan Pagelaran Wayang Kulit Kelurahan Dandong

Tradisi budaya hidup kembali di tengah masyarakat Kelurahan Dandong, Kecamatan Srengat, melalui pagelaran Wayang Kulit dalam rangka bersih-bersih Kelurahan. Acara ini digelar sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang diberikan Tuhan kepada masyarakat serta sebagai upaya melestarikan adat dan budaya lokal. Dengan menggandeng Dalang Ki Minto Darsono dan iringan Campursari New Sekar Gadhung, malam itu menjadi momentum yang sakral sekaligus meriah bagi warga Dandong. Diselenggarakan di halaman Kelurahan Dandong, pertunjukan wayang kulit ini menjadi puncak acara bersih kelurahan yang rutin digelar setiap tahun.

Melalui acara pagelaran ini, warga tak hanya disuguhi hiburan tradisional yang memikat, namun juga diajak untuk memahami nilai-nilai kebijaksanaan dalam lakon pewayangan. Kegiatan ini juga menjadi wadah kebersamaan antarwarga, mempererat tali silaturahmi, dan membangun semangat gotong royong.

Latar Tradisi Bersih Kelurahan

Tradisi Bersih Kelurahan adalah kegiatan yang turun-temurun dan memiliki makna spiritual serta sosial. Masyarakat percaya bahwa dengan melakukan kebersihan secara fisik dan mental, desa akan terhindar dari berbagai bahaya dan mendapatkan keberkahan serta rezeki yang melimpah. Puncak acara dilakukan dengan pertunjukan seni budaya seperti wayang kulit, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan menjaga tradisi adat tetap hidup. Di Kelurahan Dandong, tradisi ini telah menjadi acara tahunan yang dinantikan oleh warga. Selain menjadi simbol penyucian lingkungan, acara ini juga menjadi kesempatan bagi warga dari berbagai usia untuk berkumpul dan menikmati seni budaya asli Jawa.

Jalannya Acara Pagelaran

Acara dimulai pada malam hari dengan sambutan dari perwakilan kelurahan dan tokoh masyarakat setempat. Setelah itu, wayang kulit dipentaskan oleh Dalang Ki Minto Darsono, salah satu seniman senior yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam menyuguhkan lakon-lakon penuh makna. Dengan iringan musik dari Campursari New Sekar Gadhung, suasana malam terasa hidup. Lantunan gending Jawa berpadu harmonis dengan dialog antar tokoh pewayangan yang dibawakan dalang.  Lakon yang dimainkan mengandung pesan moral tentang kepemimpinan, keadilan, dan keikhlasan---nilai-nilai yang relevan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Di sela pertunjukan, Dalang menyisipkan humor khas Jawa Timur yang mengundang tawa penonton. Warga terlihat antusias, bahkan anak-anak dan remaja pun menikmati jalannya pagelaran hingga larut malam.

Foto Antusias Warga Menyaksikan Acara Wayangan
Foto Antusias Warga Menyaksikan Acara Wayangan

Pembacaan Sejarah Desa Dandong

Salah satu bagian sakral dalam acara tersebut adalah pembacaan sejarah singkat Desa Dandong oleh tokoh masyarakat. Sejarah ini disarikan dari cerita lisan para sesepuh dan pinisepuh desa, serta petilasan yang masih dirawat hingga kini.

Terdapat tiga versi sejarah tentang asal-usul nama Dandong:

- Versi pertama menceritakan tentang seorang tentara Tartar dari Cina yang melarikan diri pasca kekalahan dalam perang zaman Raden Wijaya. Ia membuka hutan di lereng Gunung Pegat dan mendirikan perkampungan. Suara lesung yang dibunyikan setiap pagi menghasilkan bunyi "dong-dong-dong" yang kemudian menginspirasi nama Dandong. Kebetulan, asal tentara tersebut dari daerah Dingdong, Tiongkok Selatan, sehingga nama lokalnya juga terpengaruh.

- Versi kedua menyebut adanya seorang perempuan sakti, disebut Ni Empu, yang pandai membuat alat-alat pertanian dan keris dari besi. Suara palu dan baselin saat membuat alat-alat tersebut terdengar sebagai "dong-dong-dong". Dari sinilah warga menamai daerah itu Dandong. Petilasannya diyakini berada di sekitar SDN Dandong I, dan peninggalannya berupa batu kuno dan bekas baselin ditemukan saat pembangunan sekolah.

- Versi ketiga berkaitan dengan masa Perang Diponegoro (1825--1830). Usai perang berakhir, para pejuang dan perwira yang kalah menyebar ke timur dan menyamar sebagai petani atau ulama. Salah satu tokoh penting adalah Raden Mas Co Leksono (disebut Ki Ageng Co Leksono), seorang muslim keturunan Tionghoa yang menjadi penasihat Adipati Serengat. Ia mengajarkan baca-tulis kepada warga dan dikenal sering berkata "ke-dang-dong-toh", yang turut mewarnai asal-usul nama Dandong.

Pembacaan sejarah ini menjadi momen reflektif yang mengajak warga untuk menghargai asal-usul leluhur dan menjaga nilai-nilai yang diwariskan.

Foto Panggung Pagelaran Wayang
Foto Panggung Pagelaran Wayang

Nilai Budaya dan Sosial

Wayang kulit bukan hanya sekadar pertunjukan, tapi juga media pendidikan dan pelestarian budaya. Dalam pagelaran ini, terselip banyak nilai luhur yang ditanamkan secara tidak langsung, seperti pentingnya musyawarah, kejujuran, dan menghormati orang tua. Acara ini juga memperkuat semangat gotong royong, terbukti dari peran aktif warga dalam persiapan acara: mulai dari dekorasi, konsumsi, hingga menjaga ketertiban selama pertunjukan. Momen ini menjadi ruang interaksi sosial yang sehat, memperkuat kohesi antarwarga dan aparat kelurahan.

 Antusiasme Warga dan Suasana

Suasana malam itu begitu meriah namun tetap sakral. Warga dari berbagai usia memadati halaman kelurahan. Tertata rapi, dengan lampu-lampu menghiasi panggung, suasana seperti ini menghidupkan kembali memori masa lalu ketika kesenian tradisional menjadi bagian utama dalam kehidupan masyarakat. Pagelaran berlangsung dengan tertib, ditandai dengan respon hangat dari penonton yang sesekali tertawa, kagum, atau bahkan larut dalam suasana haru dari cerita yang dimainkan.

Foro Bersama Dengan Pak Carek/Sekertaris Kelurahan
Foro Bersama Dengan Pak Carek/Sekertaris Kelurahan

Pagelaran wayang kulit dalam rangka Bersih Kelurahan Dandong bukan hanya menjadi hiburan rakyat, tetapi juga simbol penghormatan terhadap budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. Melalui tangan dingin Ki Minto Darsono dan denting merdu Campursari New Sekar Gadhung, serta penyampaian sejarah Desa Dandong, warga diajak untuk tidak melupakan akar tradisinya. Acara ini mencerminkan betapa budaya lokal dapat menjadi media pengikat sosial yang kuat serta wahana edukasi nilai-nilai kehidupan. Diharapkan tradisi seperti ini terus berlanjut dan menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai, melestarikan, dan memajukan kebudayaan daerah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun